Menyentuh Hati (book review)

“ Kalian diutus untuk mempermudah dan bukan untuk mempersulit.” Seakanakan
Rasulullah bersabda kepada setiap Muslim, “Sesungguhnya kamu
mempunyai tugas untuk berdakwah dengan bijaksana dan dengan nasihat yang
baik.” Orang-orang yang seperti orang Badui itu adalah sasaran dakwah kita.
Lalu bagaimana jika sebelumnya kita sudah memarahi dan menyakitinya?
(hlm. 106-107)
Kita sering mendengar keluhan dari teman-teman aktivis dakwah tentang sasaran
dakwah yang tidak “welcome” dan cenderung apriori. Di lain pihak, orang-orang awam
(seperti orang Badui di atas) banyak mengeluhkan para aktivis dakwah (baik dalam
lingkungan kampus maupun tempat tinggal) cenderung bersifat mengelompok, tertutup,
dan cenderung “menghakimi” ketika melihat mereka berbuat “dosa”, tanpa mencoba
mencari tahu sebabnya dan kemudian memberikan nasihat serta solusi yang baik dan
tepat. Bagaimana mungkin aktivitas dakwah dapat berjalan ketika subyek dan obyeknya
memiliki pandangan (atau stereotipe?) yang bertolak belakang bahkan mungkin saling
berprasangka buruk?
Fenomena di atas masih menjadi bahasan yang sepertinya tidak akan pernah basi
untuk dibicarakan di antara para aktivis dakwah, baik yang senior maupun yang masih
“baru bergabung”. Dan ternyata, hal ini juga disayangkan oleh teman-teman sasaran
dakwah yang “sebenarnya” merindukan uluran tangan dan seulas senyum tulus dari para
“da’i-da’i muda itu” untuk membimbingnya memperdalam Islam secara baik dan sesuai
dengan tingkat pemahaman mereka. Ada kerinduan yang sama, ada semangat yang sama.
Saya pernah mendengar di radio sebuah ungkapan; “orang Mars bicara dengan
bahasa Mars, orang Venus bicara dengan bahasa Venus. Tapi ada satu lagi bahasa di jagad
ini, namanya understanding.” Walaupun ungkapan tadi konteksnya lebih pada
pemahaman gender, saya merasa bahwa itu dianalogkan dengan kasus kita di atas. Sebuah
kesepahaman (understanding) tidak akan pernah terbangun ketika tidak ada komunikasi.
Dan komunikasi tidak akan pernah terjadi bila tidak ada usaha masing-masing pihak untuk
membuka diri dan memulai untuk menyapa.
Sayangnya, komunikasi bukanlah sebuah anugerah intelektual (IQ) yang sudah ada
sejak kita lahir. Komunikasi adalah sebuah keterampilan dan seni yang membutuhkan
sebuah pembelajaran dan pengalaman yang kaya. Jika seorang da’i ingin diterima dan
“didengarkan” oleh orang lain --khususnya obyek dakwah-- keterampilan berkomunikasi
menjadi sesuatu yang esensial. Sebagai misal, Aa’ Gym, da’i kondang ini pandai dalam hal
komunikasi. Ia selalu berusaha untuk menyampaikan ilmu dengan “bahasa” orang yang
ada di depannya, tak lupa dengan gaya santunnya yang khas. Menjadi wajar jika ia disukai
hampir seluruh lapisan masyarakat, baik yang sudah sering menghadiri kajiannya maupun
yang hanya sempat mendengarnya dari radio.
Tidak semua orang berbakat dalam berbicara. Tetapi, berkomunikasi bukanlah
sekedar berbicara. Ia melibatkan seluruh sistem yang ada di tubuh kita. Saat Anda
berkomunikasi dengan orang yang Anda sukai, seluruh tubuh Anda akan merespon baik.
Bibir otomatis tersenyum, mata berbinar, hati menjadi senang, gerak tangan dan kaki
menjadi santai dan perasaan nyaman akan menjalari diri Anda. Hal ini pun dapat segera
ditangkap oleh orang yang ada di sekitar Anda, dan tentu akan merespon baik juga.
Berbeda dengan sapaan yang ‘dimanis-maniskan’ tetapi seluruh tubuh Anda ‘berteriak’
sebaliknya. Satu hal yang menjadi esensial di sini; tulus dan ikhlas. Hal yang mudah dan
sering diucapkan, tetapi sangat sulit untuk diterapkan.
Syaikh Abbas Hasan as- Siisiy, seorang aktivis Jamaah Ikhwanul Muslimin (sebuah
organisasi pergerakan Islam yang berkembang di Mesir dan dimotori oleh Hasan Al-
Banna) berusaha untuk berbagi pengalaman dan ghirah dakwah yang menjadi ruh
pergerakan tersebut. Diawali dengan wasiat singkat dari Hasan al–Banna yang menjadi
ikon gerakan yang kini menyebar luas Indonesia --khususnya lewat Sie Kerohanian Islam
(SMU dan Fakultas) ataupun Lembaga Dakwah Kampus tingkat Universitas ini-- penulis
memulai ‘monolog’nya dalam sebuah ‘buku panduan’ bagi para dai’i dengan subjudul yang
cukup menyentuh; Untukmu Saudaraku. Buku ini mengupas tuntas seputar bagaimana
berdakwah dengan efektif, yaitu dengan mengenali rahasia hati dan tentu saja mengikuti
etika pergaulan yang baik.
Buku yang berjudul asli At- Thariq Ilal Quluub ini diterbitkan di negara asalnya,
Mesir pada 1986. Sayangnya, buku yang “ringan tapi perlu” (khususnya bagi mereka yang
memilih dakwah sebagai pilihan hidupnya) ini baru terbit di Indonesia pada 2000; 14
tahun setelahnya! Saya sempat berandai-andai, jika buku ini sudah terbit bertahun-tahun
yang lalu dan kemudian dibaca, dihayati dan diamalkan oleh semua da’i ataupun aktivis
dakwah yang ada di Indonesia, masalah yang saya bahas diawal sudah tidak akan dijumpai
lagi. Karena dakwah, seperti halnya proses komunikasi, membutuhkan tidak hanya
keikhlasan dalam berbuat, tetapi juga kecerdasan dan keterampilan yang nantinya menjadi
bekalnya saat turun ke masyarakat.
Dikemas dengan gaya bercerita, penulis membagi pengalamannya berkomunikasi
dengan beragam orang dengan beragam karakteristik dan budaya. Banyak pelajaran yang ia
berikan yang dapat membantu kita dalam memperbaiki pandangan dan perilaku kita
selama ini berkaitan dengan hubungan sesama manusia. Bahkan jika Anda mengaku
bukan aktivis dakwah, buku ini tetap menarik untuk dikaji. Ia ibarat buku panduan
populer tips mencari teman atau mari bergaul yang sering ditulis oleh penulis Barat.
Bedanya, as-Siisiy menakwilkannya dari ajaran Islam. Ia juga mengaitkannya pada tugas
(saya biasanya lebih suka dengan term ‘panggilan’) suci setiap Muslim: berdakwah, yang
tentu saja memiliki persyaratan syar’i dan dilingkupi semangat jihad yang berkobar. Bukan
sekedar untuk membangun hubungan baik antarsesama, mencari teman, membangun
jaringan, yang ujung-ujungnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi atau
golongan.
Pelajaran-pelajaran ini tersebar dalam tiap halaman yang dipisah-pisahkan dengan
subjudul-subjudul yang berisi beberapa paragraf singkat. Setiap subjudul mengangkat
sebuah topik seputar kegiatan dakwah. Topik ini dibahas dengan menyajikan contoh, baik
melalui cerita asli/pengalaman penulis saat berinteraksi dengan orang-orang maupun hasil
pengamatannya terhadap ikhwah yang ada di sekitarnya dan riwayat Rasulullah serta
sahabat-sahabatnya. Setiap subjudul sangat menarik karena membahas hal-hal sederhana
yang seringkali terlupakan (bahkan mungkin tidak diketahui sebelumnya), namun kadang
bisa menjadi pemicu sebuah konflik.
Misalnya pada subbab berjudul “Pengunjung Masjid”, penulis mengatakan bahwa
“ikhwan yang sering berkumpul di masjid terkadang kurang memperhatikan orang-orang
yang datang untuk melaksanakan shalat” (hlm. 216). Padahal, “Sebagian pemuda, ketika
mendapat nikmat hidayah dari Allah lalu pergi ke masjid untuk pertama kalinya, merasa
terasing. Perasaan itu semakin bertambah bila sebagian jamaah menatapnya dengan dingin
dan masa bodoh. Seharusnya mereka menyambutnya dengan perasaan senang, mesra, dan
berseri-seri, hingga ia segera menyatu dengan mereka dengan penuh ketulusan hati” (hlm.
217).
Subjudul menarik lainnya “Dua karakter Da’i: Cerdas dan Bersih”. Menurutnya,
agar dakwah berhasil da’i haruslah cerdas dan bersih. Maksudnya, cerdas akalnya dan
bersih hatinya. Cerdas, cukup dengan memandang sesuatu secara proporsional, tidak
ditambah atau dikurangi. Bersih, bukanlah kemudian bak malaikat, tetapi hati yang dapat mencintai dan menyayangi orang lain. Tidak bersuka ria di atas kesalahan dan penderitaan orang lain. Bahkan merasa sedih atas kesalahan mereka dan berharap agar mereka mendapat jalan kebenaran. Pada topik ini, penulis berkisah tentang pengalamannya menerima mahasiswa yang berniat mencegah sebuah pentas musik dengan jalan apa pun, termasuk kekerasan. Beliau mengatakan bahwa ia juga tidak setuju dengan pesta hura-hura itu, tetapi menyarankan untuk menggunakan jalan yang baik. Kemudian beliau memberikan nasihat yang sekiranya dapat disampaikan kepada penyelenggara acara tentang dampak buruk yang timbul dan membandingkan dengan kondisi masyarakat sekarang yang sudah buruk. Tetapi mahasiswa itu menolak dan bersikeras untuk mengatakan bahwa Allah mengharamkan nyanyian dan ia akan membubarkan pesta itu di depan penyelenggaranya. Penulis kemudian mengatakan, ”Kamu ini masih tergolong baru di kancah dakwah, mengapa tidak mengambil pelajaran dari pengalaman para
pendahulumu? Apalagi Islam banyak mempunyai musuh yang sedang menanti, jadi jangan
tunjukkan kepada mereka kekurangpahaman dan keburukan tindakan kita!” Mahasiswa itu
tetap kukuh dan akhirnya mereka ditangkap polisi dan dipenjara. Sangat tidak heroik,
konyol malah.

0 komentar:

Posting Komentar