Al-Quran Mengajarkan Perubahan

Oleh: DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris*

AL-QUR’AN MENGAJARKAN PERUBAHAN

Allah ‘Azza wa Jalla berbicara kepada kita tentang perubahan dalam dua surat, yaitu surat Al-Anfal dan Ar-Ra’d. Di dalam surat Al-Anfal Allah berfirman:

“Demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Anfal [8]: 53)

Dan di dalam surat Ar-Ra’d Allah berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS Ar-Ra’d [13]: 11)

Kaidah-Kaidah Perubahan:

Kedua ayat mulia tersebut mengandung beberapa kaidah penting dalam mengadakan perubahan, yaitu:

Kaidah pertama:

Perubahan merupakan hukum general yang meliputi semua jenis dan ras manusia, baik mukmin atau kafir. Hal itu ditunjukkan dengan kata قَوْمٌ yang berbentuk nakirah (indefinitif). Kata ini termasuk kata mutlak dan ia tetap bermakna mutlak selama Syari’ tidak membatasinya dengan suatu sifat seperti iman dan selainnya.

Karena itu, maknanya tetap mencakup setiap kelompok, organisasi, masyarakat, atau negara, tanpa memandang agamanya. Ia juga mencakup setiap ruang danw aktu. Hal itu karena lafazh tersebut mencakup setiap masyarakat di masa lalu, masa kini dan masa depan, sebagaimana ia mencakup setiap negara di dunia.

Jadi, Allah telah menetapkan berbagai sunnah dalam kehidupan dan meletakkan faktor penyebab dan undang-undang di alam semesta dan kehidupan insani. Sunnah, faktor penyebab dan undang-undang ini menimbulkan akibat-akibatnya dan mendatangkan buahnya berdasarkan pengaruh dari Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Allah telah menganjurkan umat manusia ini untuk mencari faktor penyebab, undang-undang dan hukum, supaya mereka dapat mengikuti petunjuknya dan berbuat menurutnya, agar mereka memperoleh buahnya. Allah menundukkan faktor penyebab, undang-undang dan hukum itu untuk kebahagiaan manusia dan untuk melayaninya di dunia.

Bekerja adalah sarana untuk mencari rezki. Tidak ada yang bisa dilakukan manusia selain serius dan bersungguh-sungguh dalam mencari rezkinya dengan mengerahkan seluruh tenaga dan potensinya. Baik rezki itu bersifat materi atau immateri, atau kedua-duanya.

Petani membajak tanah dan menabur benih, kemudian ia menunggu rezki dari Rabb. Seandainya ada seseorang berdiam diri di rumahnya tanpa mengerahkan tenaga sedikit pun untuk bercocok tanam, lalu ia mengira bahwa rezkinya akan datang dari pertanian, padahal ia tidak membajak, tidak menabur benih dan tidak memupuk tanah, maak dia akan kecewa dan tertinggal dari bahtera kehidupan insani. Bahkan ia dianggap berdosa karena menolak melakukan sebab, sunnah dan undang-undang.

Demikian pula para da‘i yang mencita-citakan perubahan itu harus mengerahkan segenap tenaga dan mencurahkan segenap potensi, ide, harta benda, jiwa dan hal-hal yang berharga untuk mencapai tujuan-tujuan yang mereka canangkan.

Kaidah kedua:

Perubahan yang berdampak dan dituntut dalam konsep Islam adalah perubahan kolektif yang mencakup mayoritas lingkungan sosial. Adapun perubahan individual bukan yang dimaksud di sini. Karena terkadang satu individu dapat mengubah dirinya dengan memperbaiki hubungannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hubungannya dengan orang lain.

Tetapi, perubahan ini tidak menghasilkan perubahan umum. Dan terkadang beberapa individu di tengah masyarakat berhasil mengubah diri mereka dengan memperbaiki diri dan memperat hubungan mereka dengan Allah, Rabb mereka, tetapi perubahan ini tidak cukup untuk mengubah masyarakat secara menyeluruh, fundamental dan mencakup semua aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, moral, hukum dan lain-lain.

Kaidah ini tersimpulkan dari kata قَوْمٌ pada ayat di atas. Karena kata ini berarti sekumpulan manusia, baik laki-laki atau perempuan.

Kaidah ketiga:

Perubahan itu ada kalanya positif dan ada kalanya negatif. Karena perubahan itu berarti beralih dari satu kondisi ke kondisi lain dan berpindah dari seti tempat ke tempat lain. Dengan demikian, ada kalannya perubahan diri itu bersifat positif, yaitu perubahan dari jelek menjadi baik, atau dari baik menjadi lebih baik, sehingga hasilnya pun positif.

Dan ada kalanya perubahan itu bersifat negatif, dimana manusia mengubah diri dari lebih baik menjadi baik, sehingga hasilnya adalah baik dan terkadang manusia mengubah diri dari baik menjadi jelek, sehingga kondisi mereka menjadi jelek.

Kami menyimpulkan kaidah ini dari firman Allah, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d [13]: 11)

Jadi, seperti yang kita tahu, perubahan adalah peralihan dari satu kondisi ke kondisi lain, dari satu tatanan ke tatanan lain, dari sati sifat ke sifat lain, baik positif atau negatif.

Bukti-Bukti Empirik

Kaidah-kaidah ini memiliki bukti-bukti empirik yang dari kehidupan berbagai bangsa dan masyarakat di sepanjang zaman, dengan kondisi dan situasi yang berbeda-beda, baik di masa lalu atau masa kini, baik yang mukmin atau yang kafir.

Bukti empirik pertama mengenai ayat yang berbicara tentang perubahan dalam surat Al-Anfal adalah yang terkait dengan suatu kaum yang kafir, yaitu kaumnya Fir’aun dan generasi sebelum mereka.

Ketika mereka mengubah kondisi mereka menjadi tidak menyukuri nikmat yang dikaruniakan Allah pada mereka dan membalasnya dengan sikap keras kepala, maka Allah menghukum mereka dengan menghentikan turunnya nikmat pada mereka dan menghancurkan apa yang dibuat oleh Fir’an dan kaumnya.

Tetapi, penulis akan mengambil dua bukti empirik yang terjadi setelah kenabian Muhammad Saw.

Bukti empirik pertama:

Bukti empirik ini kembali kepada empat belas abad silam, ketika bangsa Arab terdiri dari kabilah-kabilah yang bersengketa. Satu kabilah menyerang kabilah lain, menawan kaum perempuan dan keluarga, serta membunuh kaum laki-laki atau menawannya.

Bangsa Arab waktu itu berada dalam kondisi terbelakang dan jatuh dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Apabila jika mereka dibandingkan dengan negara Persia dan Romawi di semua bidang. Dalam bidang politik, ada sebagian bangsa Arab tunduk kepada Persia dan sebagian yang lain tunduk kepada Romawi.

Dalam bidang sosial, tradisi mengubur anak perempuan hidup-hidup telah mewarnai mayoritas kabilah. Penyakit sosial seperti perzinahan dan pernikahan istibdha’ (hanya untuk seksual) telah mewabah.

Perempuan dianggap sebagai benda yang bisa diperebutkan kerabat laki-lakinya, meskipun mereka adalah anaknya. Siapa yang lebih dahulu menaruh mantelnya di atas tubuh perempuan yang ditinggal mati suaminya, maka perempuan itu menjadi miliknya.

Ia bebas menikahinya meskipun ia adalah mantan istri bapaknya, atau menikahkannya dengan laki-laki lain dan mengambil maharnya.

Di bidang ekonomi, riba telah menjadi praktik umum. Padahal riba itu dapat mengakibatkan kekayaan terpusat pada segelintir orang, sedangkan mayoritasnya dalam keadaan miskin. Mereka menjadi korban ketamakan rentener dan perilakunya yang tak manusiawi. Karena debitur dapat menarik harta benda kreditur jika tidak sanggup melunasi hutangnya.

Apabila kabilah-kabilah Arab atau sebagiannya mengalami kelaparan, maka mereka keluar untuk merampok Persia dan Romawi. Dan di bidang akhlak dan ibadah, di zaman itu Allah memandang seluruh penduduk bumi dengan pandangan murka, kecuali sebagian kecil dari Ahli Kitab.

Dalam bidang peradaban, baik pemikiran atau materi, bangsa Arab tidak memiliki pemikiran cemerlang yang dapat mereka persembahkan kepada umat manusia, sebuah inovasi atau penemuan ilmiah.

Mereka adalah bangsa yang illateral. Sedemikian jauh peradaban mereka tertinggal hingga satu individu tidak dapat membedakan antara masjid dan kamar mandi. Saat itu banyak orang yang berdiri tanpa malu dan sungkan untuk kencing di dalam masjid.

Keterbelakangan dan kemunduran ini dapat Anda temukan buktinya dari kesaksian orang-orang yang pernah mengalami masa jahiliyah seperti Ja’far bin Abu Thalib ketika berbicara kepada raja Najasyi. Ia berkata, “Raja, dahulu kami adalah kaum jahiliyah yang menyembah berhala, makan bangkai, melakukan perbuatan mesum, memutus silaturahim dan berbuat jahat kepada tetangga.”

Juga seperti kesaksian ‘Aisyah RA ketika menggambarkan pernikahan di masa jahiliyah, bahwa ia memiliki empat macam; tiga di antaranya merupakan bentuk-bentuk zina. Pertama, nikah istibdha’, yaitu ketika seorang suami melihat kebangsawanan pada diri orang lain, lalu suami tersebut mengirimkan istrinya agar disetubuhi orang itu.

Jika istrinya melahirkan seorang anak, maka nasabnya dikaitkan dengan suami. Seperti seseorang yang mengirimkan kuda betinanya kepada kuda jantan tetangganya agar keturunannya menjadi unggul. Kedua, nikah rahthun, yaitu seorang perempuan digauli oleh beberapa orang laki-laki layaknya seperti suami.

Jika perempuan itu melahirkan seorang anak, maka ia memanggil semua laki-laki yang menggaulinya. Semuanya harus datang. Lalu perempuan itu menasabkan anaknya kepada salah seorang laki-laki tersebut.

Ketiga, nikah rayat, yaitu seorang perempuan digauli oleh beberapa orang laki-laki layaknya seperti suami. Jika perempuan itu melahirkan anak, maka ia memanggil semua laki-laki itu dan memanggil seorang juru sidik nasab, lalu anak itu dinasabkan kepada salah seorang di antara mereka menurut kemiripan antara anak dengan laki-laki tersebut.

Rasulullah Saw. diutus saat bangsa Arab dalam kondisi terbelakang, jatuh dan bejat seperti ini. Lalu Rasulullah Saw. berbicara kepada mereka tentang agama ini, mengajak mereka untuk beriman kepada Allah dan tunduk kepada-Nya dengan mengesakan-Nya, patuh dan taat kepada-Nya dan meninggalkan syirik. Lalu mereka beriman kepada Rasulullah Saw., mengikuti cahaya yang diturunkan kepadanya dan berjuang bersamanya. Karena itu, Allah pun mengubah keadaan mereka dan mengentaskan mereka dari kubangan syahwat dan tempat sampah menuju puncak kejayaan yang tinggi. Allah memindah mereka dengan peralihan yang jauh dan cepat. Mereka pun menjadi pemimpin umat manusia yang membawa pelita hidayah. Semua orang mencari simpati mereka dan berambisi untuk mendapatkan kedudukan di hadapan mereka.

Dahulu mereka mati, lalu Allah menghidupkan mereka di segala bidang kemanusiaan. Allah berfirman,

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?” (QS Al-An’am [6]: 122)

Mereka telah menyinari hati dengan iman, memakmurkan jiwa dengan tauhid, membahagiakan banyak orang dengan agama ini selama berabad-abad. Hal itu berlangsung hingga permulaan abad 20 Masehi, atau pertengahan abad 14 Hijriah. Ketika mereka telah mengubah dan mengganti, meninggalkan Kitab Rabb mereka, membuangnya ke belakang punggung, ketika moral jahiliyah telah mewabah di tengah mereka, ketika mereka menerapkan hukum yang tidak diridhai Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin yang shalih. Lalu, apa yang terjadi sesudah itu? Kondisi mereka memberi Anda jawaban yang sebenarnya, seperti yang Anda lihat dan dengar.

Keterbelakangan dan kemunduran itulah jawabannya. Mereka kembali berada di ekor kafilah. Mereka mengharapkan kemuliaan dari musuh-musuh mereka. Satu kelompok loyal ke Timur dan kelompok lain loyal ke Barat.

Sungguh, Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah kepada diri mereka sendiri.

Umat Islam pernah mengubah diri dari jelek menjadi baik di masa lalu, lalu Allah mengubah kondisi mereka menjadi baik. Sesudah itu, mereka mengubah diri dari yang terbaik menjadi yang terjelek, lalu Allah pun mengubah kondisi mereka menjadi jelek. Perubahan pada dua kondisi itu telah terjadi di masa lalu dan masa sekarang, positif dan negatifnya, sehingga buahnya pun dipetik.

Bukti empirik kedua dari masa kini:

Sejarah menuturkan kepada kita bahwa Amerika dahulu adalah salah satu wilayah jajahan Inggris. Emperium Inggris saat itu tidak sudah mencapai puncak kejayaannya. Tetapi ketika bangsa Amerika bertekad untuk merdeka dan mengubah mental terjajah dan inferior dalam diri mereka, maka Allah pun mengubah keadaan mereka. Akhirnya mereka memperoleh kemerdekaan. Bangsa Amerika terus menaiki tangga perubahan sampai menjadi salah satu negara terbesar di dunia, jika memang bukan yang terbesar. Setelah itu Inggris menjadi pengikut Amerika. Banyak negara dunia yang mencari simpati Amerika dan berusaha memperoleh kedudukan yang baik di mata Amerika, terlebih negara tempat kita tinggal ini.

Penulis berharap pembaca tidak keliru memahami bahwa penulis sedang memuji Amerika dan mencela Inggris. Karena masing-masing adalah negara kafir yang memusuhi Islam. Kami tidak menaruh rasa cinta atau hormat kepada keduanya. Sebaliknya, kami membencinya sebagaimana kami membenci setiap negara kafir. Kami memiliki perhitungan sendiri dengan mereka pada saat kami telah mengubah apa yang ada dalam diri kami.

Yang penulis maksud hanyalah mengajukan bukti empiris mengenai kaidah-kaidah perubahan. Karena orang kafir pund apat mengubah keadaannya menjadi lebih baik sehingga keadaan pun menjadi baik dan mengubahnya menjadi lebih jelek sehingga keadaannya menjadi jelek. Ini merupakan hukum umum yang mencakup semua manusia.(bersambung)

*) DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris

DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris adalah anggota Parlemen Jordania. Berasal dari desa Falujah, Palestina yang diduduki Israel 1949. Lahir tahun 1940. Menjadi Anggota Parlemen Jordania pada tahun 1989, kemudian terpilih kembali pada tahun 2003. Sempat dicabut keanggotaannya sebagai anggota parlemen Jordania karena melayat saat terbunuhnya Az-Zarkawi, pimpinan Al-Qaedah di Irak, kemudian dipenjara selama 2 tahun dan dibebaskan berdasarkan surat perintah Raja Abdullah II bersama temannya sesama anggota perlemen Ali Abu Sakr.

DR Abu Faris aktivis Gerakan Dakwah di Jordania. Meraih gelar doktor dalam bidang Assiyasah Assyar’iyyah (Politik Islam). Kepala bidang Studi Fiqih dan Perundang-Undangan di Fakultas Syari’ah Universitas Jordania. Beliau juga Professor pada Fakultas Syari’ah pada universitas tersebut. Di samping itu, beliau juga Direktur Majlis Tsaqofah Wattarbiyah pada Lembaga Markaz Islami Al-Khairiyah. Mantan Anggota Maktab Tanfizi Ikhwanul Muslimin, Anggota Majlis Syura Ikhwanul Mislimin dan Partai Ikhwan di Jordania.

Beliau terkenal dengan ketegasannya, ceramah-ceramah yang dahsyat di Masjid Shuwailih, kota Oman. Beliau memiliki lebih dari 30 karya buku terkait Hukum Islam, Siroh Nabawiyah, Politik Islam, Gerakan Islam. Syekh DR. Abu Faris memiliki ilmu syari’ah yang mendalam sehingga menyebabkan Beliau pantas mengeluarkan fatwa-fatwa syar’iyah. Beliau juga sangat terkenal kemampuan penguasaan pemahaman Al-Qur’an dan tafsirnya.

source: Eramuslim.com

Memaknai Rabithah

assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...
kawan...
penulis yakin dan percaya bahwa kawan-kawan sekalian sangat paham mengenai makna sebuah do'a...
tapi izinkanlah kali ini penulis coba berbagi tentang apa yang penulis ketahui tentang sebuah do'a, sebuah do'a yang telah merubah kepribadian penulis...
dari kepribadian yang bisa dibilang tak beradab hingga menjadi lebih baik seperti sekarang (yang gak kenal penulis rugi banget.../*Pe De mode: ON).

Kawan, rabithah adalah sebuah do'a yang terdapat pada akhir runtunan panjang al-ma'tsurat qubra maupun shugra, mungkin di antara kawan-kawan pembaca telah menjadikannya sebagai rutinitas kawan-kawan. Namun pernahkah kawan-kawan memaknainya? atau minimal membaca artinya?
"Yaa Allah, sesungguhnya Engkau maha mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan mahabbah hanya kepada-Mu, bertemu dalam keta'atan pada-Mu, bersatu dalam rangka menyeru (di jalan)-Mu, dan berjanji setia untuk membela syari'at-Mu, maka kuatkanlah ikatannya...Yaa allah, abadikanlah kasih sayangnya, tujukilah jalan-jalannya, dan penuhilah dengan cahaya-Mu yang tidak akan pernah padam. lapangkanlah dadanya dengan limpahan aman dan keindahan tawakkal pada-Mu, hidupkanlah dengan ma'rifat-Mu, dan matikanlah dalam keadaan syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan pembela. Amin. Dan Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Muhammad SAW, kepada keluarganya, dan kepada sahabat-sahabatnya...."

hmmm, kawan, sangat rugi bila kita tak mengetahui artinya saat kita membaca do'a ini.
karena melalui Rabithah ini kita bisa menyelesaikan perselisihan dengan saudara kita, bisa melembutkan hati-hati kita, dan bisa mempererat ukhuwah di antara kita.
bukankah Rasul mulia pernah bersabda:"belum dikatakan beriman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri..".
kawan, manalah mungkin kita bisa mencintai saudara kita seiman bila hati kita tidaklah terpaut dengannya (mereka).
keterikatan hati ini bisa kita peroleh melalui do'a rabithah, bayangkan wajah saudara kita tadi (ingat, ini bukan do'a buat cari jodoh loh....).
penulis berani mengatakan di rubrik umum seperti ini pastilah karena penulis telah mencoba dan membuktikan dahsyatnya do'a rabithah (sebenarnya yang namanya do'a apapun bentuknya mah dahsyat asal sungguh-sungguh berharap pada-Nya, tapi lebih dahsyat lagi bila do'a tersebut ada petunjuknya).

pernah sekali waktu penulis merindkan seorang al-akh yang sudah lama tak berkomunikasi (karena jarak, kesibukan, dan pastinya nomor HP yang berganti), penulis ingat akan sebuah pesan ustadz, kalo Rabithah itu pengikat hati (sekali lagi penulis ingatkan, Rabithah bukan do'a buat minta jodoh !!), lalu penulis baca dengan membayangkan wajah al-akh tersebut dengan penuh pengharapan.
Setelah itu penulis berserah diri pada Allah...
Luar biasa, tak berapa lama (kalo gak salah gak sampai hitungan jam), ada sebuah telpon masuk, dan, wow...ternyata dari al-akh yang penulis rindukan.
dan luar biasa lagi, kejadian yang sama telah beberapa kali penulis alami.

apa cuma itu yang pernah penulis alami?
gak !
banyak lagi yang lainnya, mungkin pada kesempatan ini penulis ingin certia sebuah pengalaman lagi (jiahh, lagi-lagi penulis cerita, jangan ngantuk ya...)
waktu itu penulis sedang kesal dengan sikap salah seorang al-akh, sikapnya begitu arogan dan seperti memahami semua hal (hmm,sikap ini juga masih sering muncul pada diri penulis..hihihiii...), kesal, itulah yang ada di hati penulis. Lalu penulis coba untuk sedikit tenang dan sholat, setelah sholat, penulis baca do'a rabithah, dan membayangkan wajahnya.
Subhanallah, semua pesan yang tadinya membuat penulis kesal, semua perkataan yang membuat penulis dongkol, dan semua sikap yang buat penulis eneg berubah. apa tulisannya berubah?atau perkataan yang telah terucap?atau sikap yang tela terbuat?
TIDAK !!
yang berubah adalah cara penulis menilainya, akhirnya semua tadi terasa indah, semua terlihat senagaitanda cinta dan perhatian al-akh terhadap penulis...
luar biasa, ba'da itu, penulis komunikasi lagi denga beliau, bisssss (ini improvisasi,bagaikan semak habis terbakar, masih ada api sedikit lalu disiram dengan air, bayangin ya kawan...hihiii :D), rasanya sangat nyaman, ia minta maaf....dan komunikasi itupun menjadi sangat indah....

kawan, setelah semua yang penulis sampaikan tadi, tidaklah ada maknanya bila kawan-kawan sekalian tak melakukannya, apa lagi tak membacanya dengan lapang dada.

penulis sadari dalam penulisan terdapat banyak kelemahan dan kekurangan, oleh karena itu penulis harapkan bimbingan dan kritikan yang membangun dari kawan-kawan...

akhirulkalam...
billahi taufiq walhidayah...
assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

kunjungi juga:
http://urang-piliang.mofuse.mobi/


jazaakumullahu khairan...

Selamat jalan dinda ku, sahabat ku, saudara ku...

assalamu 'alaikum...
izinkan diri ini mengutus sebuah do'a untuk saudaraku yang telah lebih dahulu menemui Kekasihnya...
Kekasih yang mencintainya jauh dari cinta yang telah kami tunjukkan untuk saudara kami...


Yaa Rabb, engkau telah berjanji akan memberikan surga 'adn bagi pemuda yang bersungguh-sungguh di jalan-Mu...
dan saudaraku, Ridhatul Akhyar tlah tunjukkan pengabdiannya pada-Mu...
berusaha komitment, ya, begitulah ia, meski tak seperti para mujahid yang ada di palestina, tapi perjuangan dan keinginan beliau patut diacungi jempol Yaa Rabb...
kami tidaklah semahatahu Engkau Yaa Rabb, penilaian kami masih banyak yang kurang...tapi setidaknya itulah yang kami rasakan...
kami harap doa singkat ini akan Engkau ijabah di tengah hujan yang mengguyur kota kami, sebagai mana Rasul-Mu telah menyampaikan bahwa salah satu waktu yang mana do'a itu makbuk adalah ketika hari hujan...maka pada waktu inilah kami bermohon pada-Mu, kami berserah pada-Mu...
Tak ada daya kami untuk menyelamatkan saudara kami dari adzab-Mu selain dengan tunduk dan berharap, sembari benar-benar yakin bahwa Engkau akan mengabulkannya, bukankah Engkau berdasarkan prasangka hamba-Mu saja...
Yaa Rabb, Yaa Rahman Yaa Rahiim...
kami yang ditinggalkan masih jauh dari kecukupan bekal, maka cukupkanlah Yaa Rabb, kuatkan kami untuk tetap berjuang memenuhi bekal untuk pertemuan yang mulia itu, pertemuan dengan Engkau, Dzat yang paling mencintai kami...
dan izinkan pula kami berkumpul kembali dengan saudara kami, Ridhatul Akhyar, bersama Rasul-Mu, bersama para sahabat, para Tabi'in, para Tabi'ut tabi'in, dan Para mujahid yang telah menukarkan kenikmatan dunia-Nya dengan keridhoan-Mu, di dipan-dipan Syurga-Mu kelak Yaa Rabb...
Jangan Engkau hinakan diri kami dengan menjauhkan kami dari ampunan dan keridhoan-Mu Yaa Rabb...
Kabulkanlah Yaa Rabb...

Sikap Sebelum dan Sesudah Menjadi Penguasa

dari Editorial Eramuslim.com
Senin, 14/12/2009 13:26 WIB


“Aku hanyalah orang biasa seperti halnya kamu sekalian. Hanya saja aku memikul beban yang lebih besar”.

Penghasilannya sebelum dan sampai hari, di mana ia diangkat menjadi penguasa, mencapai 40.000 dinar. Semua itu merupakan pemasukan dari fasilitas yang diperolehnya sebagai seorang keturunan penguasa, yang berasal dari tanah-tanah yang dimilikinya dan peninggalan orangtuanya, yang juga seorang penguasa, yang melimpah ruah.

Justru, sesudah ia menjadi seorang penguasa dan mengenggam kekuasaan, terbukalah matanya terhadap kenyataan yang terpampang dengan sangat jelas dihadapannya, bahwa semua kekayaan yang dimiliki oleh para penguasa sebelumnya, bukan kekayaan yang diperoleh dengan cucuran keringat. Semua kekayaan yang didapatinya dan bertumpuk-tumpuk dalam keluarganya, semata-mata karena adanya hak-hak istemewa.

Dan, semua itu hakikatnya, tak lain adalah milik rakyat, yang dirampas secara sewenang-wenang. Dengan cara itulah para pendahulunya mendapatkan harta yang melimpah, bukan dari cucuran keringat. Sementara itu, rakyatnya dizalimi, dan tidak mendapatkan hak-haknya.

Maka, ketika ia mengambil alih tampuk kekuasaan, dimulailah dari dirinya sendiri, dan dipindahkannya semua hak milik dan kekayaannya ke Baitul Mal. Bahkan, salah satu kekayaan yang menjadi miliknya, dan dianggap paling berharga berupa kebun, diserahkan pula kepada Baitul Mal. Padahal, kekayaan itu bukan dari siapa-siapa, melainkan warisan dari yang diterima dari pendahulunya, yang pernah menjadi penguasa, yang sangat luas pengaruhnya.

“Dari mana ayahanda memperoleh kekayaan itu”, tanya anaknya yang sudah menjadi penguasa, dan memegang kekuasaan, yang amat luas itu.

Allah telah menetapkan kepada Rasul-Nya saat kemenangan di perang Khaibar, bahwa tanah ini (Khaibar) merupakan bagian khusus bagi orang-orang yang berada dalam perjalanan (Ibnu Sabil). Ketentuan ini terus berjalan sampai kekuasaan jatuh ke tangan penguasa sesudahnya, dan ia menghadiahkan tanah ini kepada pamannya, dan kemudian kepada ayahnya.

Sungguh, sangat luar biasa tanah itu juga diserahkan kepada Baitul Mal, meskipun itu menjadi hak miliknya, tapi tetap ia serahkan kepada Baitul Mal.

Kepada gubernurnya di kota Madinah, diperintahkannya agar menyita tanah, dan mengembalikannya sebagai milik negara. Tidak cukup sampai disitu saja, diserahkannya pula setiap keping gaji yang diperolehnya sebagai penguasa. Baginya, apa-apa yang ada sekarang sudah mencukupi kebutuhan dunianya.

Penghasilannya hanya dua ratus dinar pertahun, yang diperolehnya dari hasil sebidang tanah kykang tidak luas, yang dibelinya dengan uang hasil cucuran keringatnya sendiri. Dari penghasilan ini ia menghidupi keluarganya, padahal ia sebagai penguasa. Padahal, penghasilan menjelang diangkat menjadi seorang penguasa, masih 40.000 dinar.

Semua tanah yang menjadi miliknya telah diserahkan kepada negara. Semua kekayaan yang melimpah itu diserahkannya kepada Baitul Mal. Kendaraan dan ternak yang harganya mencapai 23.000 dinar, dijual dan diserahkannya pula.

Dicabutn ya pula hak-haknya yang sah sebagai seorang penguasa, yakni gajinya, bukan seperdua atau sepertiga, tapi seluruhnya. Akirnya, yang tinggal padanya hanya sebidang tanah yang tidak luas,dan dengan penghasilan dua ratus dinar pertahun itulah ia hidup sebagai kepala negara. Ini bukan sebuah fiksi. Tapi, fakta kejadian yang pernah di zaman ke khilafahan Islam.Wallahu’alam.

Selamatkan Bahtera Kemanusiaan!

Dr. Muhammad Mahdi Akif

Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah Saw., kepada keluarga, dan para sahabatnya.

Allah Swt berfirman,

وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِير مِمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلا

“Dan sungguh telah Kami muliakan anak-anak Adam (manusia), Kami angkut mereka di daratan dan di lautan. Kami beri mereka rezeki dari yang baik-baik. Dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isra': 70).

Dalam rangka menaati perintah Allah untuk berjalan di muka bumi dan mengambil pelajaran darinya, maka kita bisa mengamati bahwa kondisi kemanusiaan di abad 21 ini sangat memprihatinkan. Sehingga kerusakan terjadi di darat dan lautan, karena perbuatan tangan manusia.

Perbedaan berakhir dengan penyiksaan, bahkan pembunuhan. Senjata menjadi bahasa dialog antar manusia. Ini semua mengganti nilai-nilai Islami yang Allah serukan, seperti ta‘âruf (saling mengenal), ta‘âwun (tolong-menolong), hidup bersama, sebagaimana firman-Nya,

يَا أيُّها النَّاس إنَّا خلقناكم من ذكر وأُنثى وجعلناكم شعوبًا وقبائلَ لتعارفوا إنَّ أَكْرَمَكُم عِنْدَ اَللهِ أَتْقَاكُم إنَّ اللهَ عليمٌ خبيرٌ

“Wahai sekalian manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari jenis laki-laki dan perempuan dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kalian saling mengenal satu sama lain. Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kalian." (QS. Al-Hujurat: 13).

Saat ini, kemanusiaan juga telah jauh dari fitrah yang Allah tetapkan. Nilai telah hilang, sehingga manusia tidak lagi memuliakan manusia lainnya.

Maksud dari "kemanusiaan" di sini adalah, kaidah dasar interaksi antar sesama manusia yang Allah tetapkan, untuk menjalankan tujuan penciptaan manusia, yaitu sebagai khalifah Allah di muka dunia; menegakkan syariat Islam dan memakmurkan dunia yang merealisasikan tujuan agung ketuhanan... "Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di atas muka bumi..." (QS. Al-Baqarah: 30).

Oleh karena itu, manusia memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam Islam. Syariat Islam hadir untuk menjaga kemanusiaan; menjamin hak-haknya, memperbaiki kondisi hidupnya, dan memudahkan segala urusannya di dunia. Untuk itu, Allah Swt. menundukkan segala sesuatu untuk manusia, sebagaimana firman-Nya,

وَسَخَّرَ لَكُمُ اللَّيْلَ وَالْنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالْنُّجُومُ مُسَخَّرَاتٌ بِأَمْرِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَات لِّقَوْم يَعْقِلُونَ

“Dan Allah telah menundukkan bagi kalian malam dan siang, matahari, bulan, dan bintang dengan titah-Nya. Sesungguhnya pada semua itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang memahami. (QS. An-Nahl: 12).

Selain itu, Islam juga mengandung Maqâshid Al-Syarî‘ah (tujuan-tujuan utama Syariat) untuk menjaga agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, demi menjaga kehidupan dan kemuliaan manusia.

Di antara bentuk pemuliaan Allah terhadap manusia juga adalah, Allah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna, sebagaimana firmannya,

لَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيم

"Sungguh kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang paling sempurna." (QS. Al-Tin: 4).

Bahkan Allah mengaitkan manusia dengan Dzat-Nya Yang Maha Tinggi, sebagaimana firman-Nya,

إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِين (71) فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ (72) فَسَجَدَ الْمَلَائِكَةُ كُلُّهُمْ أَجْمَعُونَ (73) إِلَّا إِبْلِيسَ اسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ (74)

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, 'Sesungguhnya Aku menciptakan manusia dari tanah. Dan apabila Aku telah menciptakannya dan meniupkan ruh milik-Ku ke jasadnya, maka sujudlah kalian kepadanya'. Kemudian seluruh malaikat sujud padanya. Kecuali Iblis, ia berlaku sombong dan ia tergolong kaum yang kafir." (QS. Shad: 71-74).

Dari dasar Islam yang sangat memuliakan manusia ini, maka lahirlah sebuah nilai yang tinggi, yaitu seluruh manusia sama dalam syariat, karena seluruh manusia berasal dari keturunan yang sama, yaitu dari Adam dan Hawa. Allah Swt. berfirman,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْس وَاحِدَة وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakanmu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak... (QS. Al-Nisa: 1).

Nilai-nilai Apa yang Mereka Serukan?

Itulah nilai-nilai Islam yang pernah menguasai dunia lebih dari seribu tahun. Pada masa di mana Khilafah Islamiyah menjadi satu-satunya kiblat dunia dalam ilmu, akhlak, syariat, dan pola pikir. Sedangkan Barat pada masa itu masih menjalani kehidupan goa, terbelakang, dan menerapkan hukum rimba.

Ketika memasuki zaman Renaissance di Eropa pada abad pertengahan, Barat mulai mempelajari peradaban Islam; baik secara ilmu maupun pemikiran. Saat itu, orang-orang mengira bahwa dunia akan menuju kedamaian dan saling tolong-menolong. Mensinergikan ruh dan akal. Akan tetapi, ternyata yang lahir dari "peradaban" Barat justru UU dan peraturan yang bertentangan dengan fitrah manusia. Bahkan bertentangan dengan nilai yang Allah tetapkan.

Di antara nilai peradaban Barat yang bertentangan dengan fitrah itu adalah, menjadikan keuntungan materi sebagai dasar dan satu-satunya timbangan menghukumi segala sesuatu. Sehingga tersebarlah keburukan. Seluruh sarana dibolehkan untuk merealisasikan keuntungan materi bagi manusia.

Logika materialistis itulah yang menjadi sandaran ekspansi penjajahan Eropa dan Amerika selama 6 abad terakhir. Mereka menghalalkan merampas kekayaan "masyarakat terbelakang". Bahkan, mereka menjual masyarakat itu sendiri di pasar perbudakan. Ratusan juta jiwa yang Allah muliakan dipaksa berkerja di pertanian dan perindustrian "peradaban Barat."

Perperangan pun semakin merajalela. Negara-negara non-Barat semakin terbelakang setelah beberapa abad imperialisme Barat. Muncullah masyarakat dan negara yang tidak mengetahui makna kedamaian. Tidak tahu jalan menuju peradaban. Semua ini setelah mereka dipaksa tunduk pada Barat, untuk menjadi pasar tempat menjual hasil-hasil perindustrian dan pertanian Barat, dan untuk menggerakkan pertukaran uang raksasa yang dibangun Yahudi pada abad ke-XVII di AS, dan untuk menjaga terpasoknya bahan mentah bagi negara-negara Barat.

Kekuasaan nilai materialisme, pragmatisme, menjauhkan manusia dari agama Allah, semua ini berperanan besar dalam mengukuhkan penjajahan, yang mengembalikan manusia ke zaman hukum rimba dan perbudakan. Sedangkan istilah-istilah seperti persaudaraan manusia dan tolong-menolong, sangat jauh dari kamus interaksi antar manusia.

Lumpur semakin menghitam dan kebakaran semakin berkobar, ketika berbagai kepentingan Barat dengan kapitalismenya bertemu dengan kepentingan dan ketamakan proyek Zionisme di Dunia Islam. Pertumpahan darah semakin merata di muka bumi. Foto-foto para para pengungsi dan orang-orang terlantar mendominasi berita tentang umat kita, akibat kecongkakan global serta kediktatoran dan kerusakan internal umat.

Kemanusiaan Butuh Penyelamat

Kini, kemanusiaan di bawah kepemimpinan Barat atas dunia sangat memprihatinkan. Aliran darah, kemiskinan, dan kelaparan meluber ke seluruh penjuru dunia akibat nilai pragmatis yang berdasarkan kepentingan materi. Kemanusiaan butuh konsep yang mampu menyelamatkannya, menjaga kehidupan, harta, dan menyelamatkan kehormatan yang masih tersisa.

Konsep penyelamat kemanusiaan ada pada Islam. Tidak ada agama yang sangat menjunjung tinggi kemanusiaan selain Islam. Bukan sekedar kata, slogan, atau cita-cita semata, melainkan telah terbukti dalam sejarah. Pengalaman dari sebuah negara terbesar sepanjang sejarah.

Dalam akidah Islam, Rasulullah telah meletakan pondasi-pondasi persaudaran, persamaan, dan keadilan, sehingga beliau bersabda,

"يَا أَيُّهَا النَّاسُ، أَلا إِنَّ رَبَّكُمْ وَاحِدٌ، وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ، أَلا لا فَضْلَ لِعَرَبِيّ عَلَى أَعْجَمِيّ وَلا لِعَجَمِيّ عَلَى عَرَبِيّ، وَلا لأحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلا أَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إِلاَّ بِالتَّقْوَى" (رواه أحمد)

"Wahai sekalian manusia, ingatlah sesungguhanya Tuhan kalian adalah satu dan bapak kalian adalah satu. Sungguh tidak ada keutamaan Arab atas non-Arab, non-Arab atas Arab, kulit merah atas hitam, dan kulit hitam atas merah, kecuali dengan ketakwaan.” (HR. Ahmad).

Dalam khutbah Haji Wadâ‘, Rasulullah meletakkan dasar interaksi sesama manusia yang sangat tinggi, yaitu memuliakan manusia dan apa yang ia miliki. Rasul bersabda,

"أيُّها النَّاس اسمَعُوا قَوْلي، فإنِّي لا أدري لعلِّي لا ألقاكُم بعد عامِي هذا بهذا الموقف أبدًا، أيُّها النَّاس إنَّ دماءَكُم وأموالَكُم عليكم حرامٌ إلى أنْ تَلْقَوْا ربَّكم كحرمةِ يَوْمِكُم هذا، وكحرمةِ شهرِكُم هذا، وإنَّكم ستَلقَوْن ربَّكُم فيسألُكُم عن أعمالكم وقد بلَّغت، فمنْ كان عِنْدَهُ أمانةٌ فليؤدِّها إلى مَنْ ائْتَمَنَهُ عليها" (رواية ابن إسحاق لخطبة الوداع)

"Wahai sekalian manusia, dengarlah ucapakanku. Sungguh aku tak tahu, bisa jadi aku tidak akan bertemu lagi dengan kalian di tahun-tahun mendatang. Wahai sekalian manusia, ketahuilah bahwa harta dan darah kalian adalah haram (suci) hingga kalian bertemu Allah, sebagaimana sucinya hari kalian ini, sucinya bulan kalian ini." (HR. Ibnu Ishaq).

Islam juga merupakan agama akhlak dan nilai yang menjaga kemanusiaan. Rasul bersabda,

"إنَّما بُعِثْتُ لأتمِّمَ مكارمَ الأخلاقِ"

"Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan kemulian akhlak..." Inilah nabi kita, dan inilah agama kita.

Bukti sejarah Islam sebagai penyelamat manusia ini tidak hanya pada masa Rasul, tapi juga setelahnya, karena Islam merupakan madrasah Rabbani yang membentuk generasi.

Inilah Umar bin Khattab, murid dari madrasah an-nubuwwah. Pada suatu hari, Umar melihat seorang kakek sedang meminta sedekah di pasar yang ramai. Umar bertanya padanya, "Siapakah Anda wahai kakek tua?" Kakek tersebut adalah seorang Yahudi dari Madinah. Ia menjawab, "Saya seorang yang telah terlalu tua. Saya membutuhkan jizyah (pajak) dan nafkah." Maka Umar menjawab, “Sungguh kami tidak berlaku adil padamu wahai kakek. Kami mengambil jizyah darimu di masa muda dan membiarkan dirimu terlunta-lunta di masa tua.”

Lalu Umar membawa kakek tersebut ke rumahnya, kemudian menghidangnya makanan. Setelah itu Umar mengutus seseorang menuju ke Baitul Mâl dan berkata, “Berikanlah kakek ini dan orang-orang sepertinya keperluan yang memenuhi kebutuhan dirinya dan keluarganya.”

Dari kisah di atas, Umar r.a. menunjukkan bahwa Islam adalah rahmat dan keadilan bagi pemimpin maupun rakyat. Masih banyak kisah lainnya yang serupa. Inilah agama Islam yang oleh pihak yang membencinya dikesankan dengan kejam dan kesan negatif lainnya. Sedangkan apa yang terjadi pada anak-anak Gaza, Palestina, Irak, Afghanistan, dan lainnya dianggap sebagai "kasih sayang" hukum internasional.

Wahai Kaum Muslimin Dimanapun Anda Berada

Sungguh amanah yang Anda pikul sangat berat. Setiap kita dituntut untuk optimal berusaha sesuai posisinya, baik dai, politikus, ulama, wartawan, mahasiswa, pengusaha, petani, dan lainnya.

Hendaklah setiap kita melihat kembali kondisi sekitarnya. Hendaklah kembali ke agama yang benar. Mengembalikan nilai-nilai Islam sebagaimana Allah turunkan. Rambu-rambu kehidupan yang komprehensif. Bukan hanya akidah, ibadah, dan muamalat saja, akan tetapi seluruh sisi kehidupan manusia. Maka terapkanlah ajaran Islam secara kaffah.

Wahai sekalian manusia... berimanlah kepada Allah, Rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan Hari Akhir. Perbaikilah hubungan sesama manusia. Wahai sekalian anak-anak, perbaikilah hubungan dengan orang tua, keluarga, dan kerabat dekat. Karena sesungguhnya memperbaiki hubungan sesama manusia adalah ibadah yang agung dan sangat mulia.

Tunaikanlah amanah-amanah secara adil...

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat". (QS. An-Nisa': 58).

Bersungguh-sungguhlah dalam kerja kalian. Rasulullah bersabda,

"اجتهدوا في عَمَلِكُم. إنَّ الله يحبُّ إذا عَمِلَ أحدُكُم عملاً أنْ يتقنَه... (حديثٌ صحيحٌ)

"Sesungguhnya Allah mencintai seseorang hamba yang bersungguh-sungguh dalam berkerja.”

Islam tidak hanya memperbaiki umat Islam saja, akan tetapi juga menyelamatkan kemanusiaan secara utuh.

Wahai hamba-hamba Allah, renungkanlah firmah-Nya,

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ (ص: 150)

“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (QS. Al-Shad: 150)

source : Eramuslim.com

Tata cara sholat jenazah

dari tanya jawab di era muslim.com bersama Ustadz Sigit Pranowo, Lc.

Mengangkat Tangan Saat Takbir Shalat Jenazah

Diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw mengucapkan takbir didalam shalat jenazah dan mengangkat kedua tangannya pada takbir pertama dan meletakan tangan kanan diatas tangan kirinya.” Lalu Abu Isa mengatakan bahwa hadits ini gharib dan kita tidak mengetahuinya kecuali dari sisi ini.)

Para ahli ilmu telah berbeda pendapat didalam permasalahan ini :

1. Kebanyakan ahli ilmu dari kalangan sahabat Nabi saw dan yang lainnya berpendapat untuk mengangkat kedua tangan pada setiap takbir didalam shalat jenazah, demikian pula pedapat Ibnul Mubarok, Syafi’i, Ahmad dan Ishaq.

2. Sedangkan sebagian ahli ilmu yang lain berpendapat untuk tidak mengangkat kedua tangan kecuali hanya pada takbir pertama, ini adalah pendapat ats Tsauriy dan ahli Kuffah. (Sunan at Tirmidzi juz IV hal 350)

Syeikh al Albani didalam “Ahkam al Janaiz hal 115 – 116” menyebutkan bahwa dalam hal disyariatkannya mengangkat kedua tangan pada takbir pertama terdapat dua buah hadits :

Dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw mengucapkan takbir dalam shalat jenazah dan mengangkat kedua tangannya pada takbir pertama dan meletakan tangan kanan diatas tangan kirinya.” Diriwayatkan oleh at Tirmidzi (2/165), ad Daruquthni (192), al Baihaqi (284), Abu asy Syeikh didalam “Thabaqat al Ashbaniyin” (262) dengan sanad lemah akan tetapi diperkuat oleh hadits kedua : dari Abdullah bin Abbas bahwa Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya didalam shalat jenazah pada takbir pertama dan tidak mengulanginya lagi.” Diriwayatkan oleh ad Daruquthni dengan sanad yang orang-orangnya bisa dipercaya kecuali al Fadhl bin as Sakan, dia adalah orang yang tidak dikenal. Ibnu at Turkumai tidak memberikan pendapat tentangnya didalam “al Jauhar an Naqiy” (4/44).

Dengan demikian permasalahan mengangkat kedua tangan saat takbir didalam shalat jenazah adalah permasalahan khilafiyah atau yang masih diperselisihkan oleh para ulama sehingga tidak perlu menjadikan sebagian dari kita menyalahkan sebagian yang lain.

Doa Setelah Shalat Jenazah

Dibolehkan bagi seseorang untuk memohonkan ampunan bagi si mayit dan memohon agar diberikan kesabaran kepada keluarga yang ditinggalkannya setelah si mayit dikuburkan berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Mohonkanlah ampunan buat saudaramu dan mintalah untuknya keteguhan (dalam menjawab pertanyaan, pen) karena saat ini dia sedang ditanya.” (HR. Abu Daud)

Ada sebagian ulama seperti Imam Nawawi didalam kitab “al Majmu”, Syarbini didalam kitab “Mughni al Muhtaj”, al Ghamrawiy didalam kitab “as Siraj al Wahhaj” membolehkan memanjatkan doa bagi si mayit atau keluarga yang ditinggalkannya setelah selesai shalat jenazah dan sebelum dikuburkan apabila doa itu dilakukan dengan sendiri-sendiri. Akan tetapi tidak ada riwayat dari Nabi saw dan para salafussaleh yang menerangkan bahwa doa tersebut dilakukan secara berjama’ah.

Doa Untuk Jenazah

Para ulama bersepakat disunnahkannya berdoa bagi si mayit setelah takbir ketiga didalam shalat jenazah, dan diantara doa-doa tersebut—sebagaimana terdapat didalam kitab “al Adzkar” Imam Nawawi , diantaranya :

1. Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah berdoa :

" اللَّهم اغفِر لَهُ ، وَارحَـمهُ ، وعافِهِ ، وَاعفُ عَنهُ ، وَأَكرِم نُزُلَهُ ، وَوَسِّع مَدخَلَهُ ، وَاغسِلهُ بالمَاءِ وَالثَلجِ وَالبَرَدِ ، وَنَقِّهِ مِنَ الخَطَايا كَما نَقَّيتَ الثَّوبَ الأَبيَضَ مِنَ الدَّنَسِ ، وَأَبدِلهُ دَارًا خَيرًا مِن دَارِهِ ، وَأَهلًا خَيرًا مِن أَهلِهِ ، وَزَوجًا خَيرًا مِن زَوجِهِ ، وَأَدخِلهُ الجَنَّةَ ، وَأَعِذهُ مِن عَذَابِ القَبرِ أَو مِن عَذَابِ النَّار "

2. Diriwayatkan oleh Abu Daud, at Tirmidzi dan al Baihaqi bahwa Rasulullah berdoa dengan mengatakan :


" اللَّهُمَّ اغفِر لحَِـيِّناَ وَمَيِّتِنَا ، وَصَغِيرِناَ وَكَبِيرِنَا ، وَذَكَرِنَا وَأُنثَانَا ، وَشَاهِدِنَا وَغَائِبِنَا ، اللَّهُمَّ مَن أَحيَيتَهُ مِنَّا فَأَحيِهِ عَلَى الإسلَام ، وَمَن تَوَفَّيتَهُ مِنَّا فَتَوَفِّهِ عَلَى الإِيمَان ، اللَّهُم لَا تَحرِمنَا أَجرَهُ وَلَا تَفتِنَّا بَعدَهُ ".

Sedangkan setelah takbir keempat maka tidaklah ada kewajiban untuk berdoa menurut kesepakatan para ulama namun dianjurkan untuk berdoa—sebagaima disebutkan oleh Imam Syafi’i didalam kitab “al Buwaithi”—dengan lafazh :

اللَّهُمَّ لَا تَحرِمنَا أَجرَهُ وَلَا تَفتِنَّا بَعدَهُ.

Atau dengan doa :

رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنيَا حَسَنَةً ، وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً ، وَقِنَا عَذَابَ النَّار

Wallahu A’lam