Bithanah Ad-da'wiyah

Dikutip dari http://www.al-ikhwan.net/bithanah-ad-daawiyah-3241/

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi bithanah dari orang-orang yang di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya”. (Ali Imran: 118)

Amaliyatud Da’wah

Meski keramaian jihad siyasi telah rampung akan tetapi aktivitas dakwah tak akan pernah usai. Lantaran dakwah merupakan tuntutan sepanjang zaman untuk bisa mewujudkan misi ajaran Allah SWT. sehingga selalu bergulir dari satu kurun ke kurun yang lain dari satu generasi ke generasi lainnya.

Mengajak umat manusia kepada kebajikan dengan menyuruh berbuat yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran agar tidak ada lagi fitnah di muka bumi. Amaliyah ini senantiasa ada selama masih berputarnya roda kehidupan.

Tabiat amal memang selalu muncul dan muncul tanpa pernah bisa dibendung. Waktu yang berjalan mengiringi jalannya amal. Bahkan keduanya saling lomba berdatangan. Kadang waktu mampu menyelesaikan sebuah amal. Namun tidak jarang pula amal datang tanpa bisa waktu menuntaskannya meski telah berlalu beberapa penggalannya. Malah sering kali amal itu lebih banyak dari waktu yang tersedia sehingga ia tidak bisa diselesaikan oleh satu kurun waktu atau satu generasi akan tetapi ia diselesaikan oleh kurun waktu yang lain atau generasi berikutnya.

Kedatangan amal yang tak kenal henti sudah menjadi tabiat alam semesta. Selama putaran alam ini tidak berhenti maka selama itu pula putaran amal tak kan henti. Meski demikian bagi seorang kader dakwah putaran waktu yang seiring dengan putaran amal bukanlah sesuatu yang harus dihindari melainkan harus diantisipasi agar dapat mengikuti alur perjalanan waktu dan amal. Seorang ulama dakwah telah lama mengingatkan murid-muridnya dengan menyatakan “fajri bihadzihil ‘amal, tajri ma’aka, (mengalirlah bersama amal-amal ini niscaya ia akan mengalirkan dirimu)”.

Karena itu catatan yang perlu kita tulis adalah jangan sampai mengabaikan kesempatan dan peluang yang telah diberikan kepada kita. Namun bila hal ini terabaikan maka nikmat kesempatan itu menjadi sia-sia. Rasulullah SAW. telah mengingatkan bahwa,

“Ada dua kenikmatan yang sering dilupakan manusia yakni kesempatan dan kesehatan”. (Muslim).

Tak dapat dipungkuri lagi bahwa hakikat seorang mukmin sejati adalah berbuat, berbuat dan terus berbuat. Sehingga seluruh waktunya selalu diukur dengan produktivitas amalnya. Karena itu diam tanpa amal menjadi aib bagi orang beriman. Mereka harus mencermati peluang-peluang untuk selalu berbuat. Maka perlu diingat bahwa ‘ngangur’ dapat menjadi pintu kehancuran. Tidaklah mengherankan bahwa banyak ayat maupun hadits yang memberikan motivasi dan rangsangan agar selalu berbuat dan menghindari diri dari sikap malas dan lemah untuk berbuat. Untuk itu Rasulullah SAW. menyegerakan para sahabat melanjutkan agenda lainnya sebab bila tidak, yang terjadi adalah peluang konflik dan friksi antar sesama atau akan disibukan dengan hal-hal sepele.

“Pikiran tak dapat dibatasi, lisan tak dapat dibungkam, anggota tubuh tak dapat diam. Karena itu jika kamu tidak disibukan dengan hal-hal besar maka kamu akan disibukan dengan hal-hal kecil”. (Abdul Wahab Azzam).

Irama hidup orang yang beriman hendaknya selalu terus berada pada siklusnya yang mesti berputar maka sesudah menunaikan satu tugas ia harus menyiapkan diri untuk menunaikan tugas besar lainnya. Siklus demikian dapat menyehatkan diri dan amalnya karena ia mampu memanfaatkan waktunya untuk mengukir goresan indah.

“Maka apabila kamu telah selesai dari satu urusan maka kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan yang lain”. (Al Insyirah: 7).

Bila perjalanan amal yang begitu panjang sering terjadi dalam kehidupan ini maka tidak ada pilihan lain kecuali mempersiapkan diri untuk mengarunginya. Salah satu penyiapan yang amat perlu dimiliki adalah sikap tidak pernah lelah dalam amal. Karena sikap lelah dan terus merasa lelah akan memperkecil potensi produktivitas dan akan menggerogoti energi untuk berbuat. Maka kita perlu mengantisipasi dan memerangi kelelahan kita. Bisa dengan recovery tarbiyah dengan mendisplinkan diri dalam menerapkan manhaj, rihlah, siyahah atau amal-amal tarbawi lainnya.

Rasulullah SAW. pun menyuruhnya, seperti dalam sabdanya:

“Rehatkanlah hatimu karena hatimu tidak terbuat dari batu”.

Disamping amaliyatud dakwah tidak boleh henti, ia pun tidak boleh terbatas hanya pada satu kalangan. Sentuhan dakwah ini mesti menjangkau seluruh lapisan masyarakat luas karena sesungguhnya hak dakwah ini untuk seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Karenanya amaliyatud dakwah ini harus menyentuh ke berbagai segmen. Dan ini wujud penerapan risalah terakhir yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW. adalah untuk dapat menyebar luaskan dakwah ke seluruh lapisan manusia. Untuk itu semangat amaliyatud dakwah tidak boleh redup. Ia perlu dikobarkan pada sanubari seluruh kader.

Bithanah Ad-Da’awiyah

Bithanah dalam bahasa Arab berarti rangkapan baju dalaman. Seperti jas yang bagian dalamannya dilapisi kain tipis yang dikenal dengan sebutan puring. Dia tidak kelihatan, tapi cukup menentukan penampilan baju. Dengan pengertian itu, bithanah kemudian diusung ke dalam bahasa politik untuk menyebut mereka yang berada di belakang pemimpin atau penguasa. Sebagai pengokoh dalam menjalankan sebuah kekuasaan.

Kaisar, raja, atau presiden, biasanya mempunyai orang-orang dekat yang dipercaya. Mereka yang dekat dan dipercaya ini, ada yang, karena kapasitasnya, dipilih menjadi pembantu resmi, seperti menteri dan gubernur; ada yang, karena satu dan lain hal, justru tidak dimunculkan sebagai pembantu resminya. Yang terakhir ini–yang dimaksud bithanah–meski tidak tampak sebagai pembantu resmi, sering kali justru lebih berpengaruh dan menentukan. Mereka tidak tampak terutama pada saat sang penguasa bersangkutan berkuasa. Bahkan ada yang tetap tidak tampak dan tidak diketahui meskipun sang penguasa sudah tidak berkuasa lagi.

Memang kadang-kadang ada bithanah yang sekaligus juga pembantu resmi, atau semula merupakan orang-orang kepercayaan penguasa di belakang layar, kemudian diangkat menjadi pembantu resminya. Dalam sejarah kekuasaan, bithanah banyak memiliki peran kelangsungan dan kekokohan para penguasa. Sebagai contoh salah satunya Haman adalah bithanah kepercayaan Fir’aun yang sekaligus merupakan pembantu resminya.

Bila dikaitkan dengan dakwah maka bithanah da’awiyah merupakan bagian-bagian yang menjadi pengokoh dakwah agar senantiasa berdiri tegar. Adapun bithanah da’awiyah ini lebih kepada penguatan dakwah di tengah-tengah masyarakat dengan berbagai persoalan yang melingkupinya. Hal ini menjadi sangat urgen bila melihat aspek penerapan sistem ajaran Islam yang lebih mengakar. Sedang bithanah da’awiyah yang dimaksud adalah:

1. At Ta’yidul Wal Muqabalah Mutanawi’ah (Dukungan dan Sambutan yang beragam)

Dukungan dan sambutan masyrakat terhadap dakwah mempengaruhi eksistensinya. Implikasinya adalah atensi mereka yang semakin besar pada dakwah dan ditindak lanjuti kesertaan mereka menjadi bagian dari dakwah ini. Dakwah dapat semakin eksis selama masyarakat yang beragam menjadi instrument dalam menjalankan roda dakwah ini. Adapun indikasinya adalah bahwa masyarakat menerima seruan ajarannya ini dengan sikap ridha dan lapang. Bila kenyataan ini benar maka masyarakat merupakan potensi yang amat besar untuk memberikan pembelaan dan kontribusinya terhadap dakwah.

Sedang para kader menjadi simpul-simpul masyarakat yang beragam untuk dapat menggerakkan mereka. Dan diperlukan dalam jumlah yang besar dan merata. Sebab simpul-simpul itu harus berada didalamnya. Ini dapat memudahkan tadakhul da’awiyah padanya. Maka penyebaran kader harus merata di berbagai wilayah. Hal ini perlu mendapatkan perhatian agar bisa dievaluasi dengan seksama dan secermat mungkin untuk dapat mengantisipasi perkembangan dakwah.

Rasulullah SAW. senantiasa mengamati perkembangan dakwah Islam dengan pendekatan siapa-siapa yang sudah menerima Islam dan kabilah-kabilah mana saja yang sudah Islam. Metodelogi evaluasi melalui orang dan kabilah yang masuk Islam ini menunjkan bahwa sejauh mana dukungan masyarakat luas pada dakwah Islam. Bila dukungan masyrakat itu real dengan masuknya mereka pada Islam maka dakwah Islam dapat semakin kokoh dan kuat karena mendapat dukungan dari berbagai kekuatan dalam masyarakat. Tentunya dakwah ini memerlukan sejumlah besar orang-orang yang memperjuangkannya. Agar mereka menjadi tameng dan sekaligus sebagai ansharud da’wah (pembela dakwah) dalam menghadapi serangan musuh-musuh dakwah. Karena itu Allah SWT. mengingatkan agar bisa menegakkan dakwah ini bersama sejumlah besar pengikut-pengikutnya yang setia.

“Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar”. (Ali Imran: 146)

Karenanya, dukungan dan sambutan masyarakat ini perlu dievaluasi dan ditingkatkan kapasitas dan kapabiltasnya lantaran ia sangat berpengaruh pada kelangsungan dan kekokohan dakwah ini. ia menjadi salah satu unsur bithanah terhadap dakwah.
2. Quwwatul Matanah Ad-Dakhiliyah (Soliditas internal yang kuat)

Dakwah menjadi bangunan yang kuat manakala orang-orang yang berhimpun didalamnya solid dan saling membantu. Bagaikan bangunan megah yang terdiri dari satu material dengan material lainnya saling menguatkan. Tidak ada kerapuhan sedikitpun diantara komponen di dalamnya. Bila hal ini terjadi pada orang-orang yang berhimpun dengan dakwah sangat kuat, tidak ada pertikaian, iri, dengki, hasad, maupun bermusuhan. Maka bangunan dakwah menjadi bangunan yang indah dan kuat tidak akan goyah oleh goncangan apapun.

“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur seakan-akan mereka seperti suatu bangunan yang tersusun kokoh”. (As-Shaff: 4)

Rasulullah SAW. amat perhatian pada soliditas internal yang terjadi di kalangan para sahabat. Beliau selalu memberikan arahan ketika dilihatnya ada benih-benih yang dapat memporakporandakan kesatuan dan kesolidan kaum muslimin. Beliau pun akan menyegerakan mereka untuk melakukan berbagai amaliyah menghindari sisi kerapuhan interaksi sosial mereka. Sangat banyak taujihat nabawiyah pada masalah ini sampai-sampai di akhir hayatnya beliau mengingatkan agar jangan saling hasad, dengki, iri, dan bermusuhan karena sesungguhnya kaum muslimin merupakan bersaudara bagaikan satu tubuh.

Memang sangat mungkin sekali gesekan antar individu dalam amal jihad siyasi kemarin terjadi. Dan ini dapat menimbulkan luka di hati. Ada yang kesal dengan ikhwah karena dianggap kurang peduli memberikan kontribusi pada jihad siyasi yang lalu. Ada pula yang merasa memiliki kewenangan sehingga seakan-akan mendominasi kepentingan pada alur struktural dan penggalangan ikhwah. Yang berakibat pada ketidak sukaan akan gaya dan style ‘ikhwah’ tersebut. Oleh sebab itu perlulah mentadaburi taujihat rabbaniyah ini agar terhindar dari hal-hal yang dapat berakibat buruk pada soliditas internal.

“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk”. ( Ali Imran: 103)

3. At Thaqah Wal Miharul Muta’ammiqah (Kemampuan dan keahlian yang mumpuni)

Untuk dapat mengemban amanah dakwah yang besar maka tidak bisa dielakkan lagi bahwa kemampuan dan keahlian menjadi satu hal yang harus diperhatikan. Bahkan kemampuan dan keahlian yang dimiliki para kader dakwah harus pada tingkatan mumpuni di berbagai bidang. Karena urusan yang diamanahkan kepadanya semakin besar. Sudah barang tentu kualitas ekspert dan skillnya yang perlu dikembangkan agar mampu menunaikan tugas besar tersebut. Sebab bila ini tidak terpenuhi amat mungkin amanah itu terabaikan pelaksanaannya. Sebagaimana yang diingatkan oleh Rasulullah SAW. bahwa bila satu urusan diberikan pada orang yang tidak mumpuni maka tunggulah saat kehancurannya.

Pada masa pemerintahan Umar ibnul Khaththab RA. kemampuan dan keahlian para sahabat mulai beragam dan tersebar ke berbagai bidang. Hal ini tentu berkaitan dengan tugas kepemimpinan yang teramat berat yang dipikulnya. Umat Islam yang beragam kultur dan budayanya serta wilayah cakupannya yang amat luas merambah daerah sekitar jazirah. Sehingga skill dan ekspert yang mereka miliki harus menyentuh pada persoalan yang dinamis terjadi saat itu. Dan ini sangat terkait dengan bangunan dakwah dan penyebar luasannya. Para sahabat ada yang ahli dalam bidang budaya dan kultur suatu masyarakat. Sehingga mempermudah bagi yang lainnya untuk mengenal tabiat dan tradisi masyarakat setempat. Dan hal ini sangat bermanfaat untuk memulai penetrasi dakwahh didalamnya. Ada pula yang ahli dalam komunikasi lantaran ia sudah bisa berdialog dengan beberapa bahasa setempat. Ada pula yang ahli dalam bidang pemerintahan sehingga bermunculan berbagai kelembagaan yang membantu pelaksanaan pemerintahan suatu daerah.

Amatlah tepat apa yang difirmankan Allah SWT.

“Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya”. (Al Isra’: 84).

Agar seluruh kader dakwah ini dapat mempermulus perjalanan dakwah dan kekokohannya. Dan sekali lagi ini berpulang pada kemampuan dan keahlian kader-kadernya.

4. Tarqiyatu Qudrah Lit Tashadum (Meningkatnya kemampuan untuk berbenturan)

Bila diibaratkan dengan pohon maka semakin tinggi suatu pohon yang menjulang semakin banyak angin yang menggoyang. Hanya pohon yang berdiri tegak dengan akar yang menghunjam saja yang mampu bertahan akan terpaan angin tersebut. Sekalipun angin itu berupa badai yang ganas. Kalaupun terjadi goyang hanya meruntuhan ranting-ranting kecil atau dahan-dahan yang rapuh. Kalau hal ini dikaitkan dengan dakwah maka semakin tegaknya bangunan dakwah semakin banyak ujian yang datang pada dakwah ini. Baik ujian yang menyenangkan atau ujian yang menyusahkan. Oleh karena itu dakwah ini berikut kader-kadernya perlu membentengi diri dengan kemampuan untuk bisa menghadapi benturan-benturan. Apalagi benturan dakwah merupakan sesuatu yang lumrah sebagai sunnah dakwah yang terjadi pada semua zaman. Bila kemampuan tersebut dipahami dengan baik paling tidak bisa menghadapinya dengan kesiapan psykologis yang memadai.
Sebagaimana kita pahami bahwa sesudah terjadinya Badar, kaum muslimin semakin menyiapkan diri untuk menghadapi upaya musuh menekan dakwah. Kesiapan yang cukup dapat menggetarkan siapa saja yang akan memusuhi dakwah ini. Karenanya Allah SWT. ingatkan akan kesiapan untuk menghadapi benturan yang bakal terjadi. Sekalipun tabiat dasarnya seorang mukmin adalah tidak mencari-cari musuh akan tetapi bila sudah berhadapan maka tidak boleh lari darinya.

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah, musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalas dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)”. (Al Anfal: 60).

5. Taqwiyatu Al Jawwi at Tarbawiyah (Menguatnya iklim tarbiyah)

Bithanah Dakwah ini yang juga patut diperhitungkan adalah penguatan iklim tarbiyah. Iklim yang menajamkan pada kekuatan spiritual dalam melaksanakan aktivitas harian pada sanubari setiap kadernya. Sehingga kekuatan maknawiyah kader selalu dalam stamina yang prima. Agar para kader dakwah mempunyai bekalan yang cukup untuk mengembangkan jaringan dakwah dan terus memperjuangkannya. Menguatnya iklim tarbawi berupa penanaman sikap komitmen pada Islam dapat melahirkan sikap militansi yang kuat. Hal ini juga berhubungan erat dengan optimalisasi pelaksanaan tarbiyah bagi para kader. Juga dengan penerapan dan disiplin terhadap manhaj tarbiyah.

Karena iklim tarbiyah ini menjadi bithanah dakwah maka ta’shil tarbawiyah sesegera mungkin digelorakan kembali seperti pada waktu-waktu normal. Agar iklim tarbiyah ini lebih mewarnai aktivitas yang sedang berlangsung. Seorang ulama dakwah mengingatkan, al ams ad da’wah takhdumus siyasah. Wal an as siyasah la budda an takhdumad da’wah, (kemarin dakwah memberikan pelayanan pada aktivitas perpolitikan sekarang ini politik harus memberikan pelayanannya untuk dakwah).

Kita tentu sangat mengerti bahwa unsur yang esensial dalam kehidupan orang yang beriman adalah kekuatan aspek spiritual. Karena hal ini menjadi salah satu pintu menuju kemenangan dakwah. Karenanya Allah SWT. perintahkan untuk mewujudkan suasana itu menjadi atmosfir yang amat dibutuhkan kader-kader dakwah.

“Hai orang-orang yang beriman, ruku’lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”. ( Al Hajj: 77).

Ketika kekuatan dakwah ini mengakar pada lapisan umat manusia ia bisa menjadi bolduser masyarakat dalam mengarahkan mereka pada kebajikan yang dikenal dengan sebutan Wilayatul Hisbah atau kontrol sosial. Bila demikian maka seluruh komponen masyarakat memiliki kewenangan untuk memberikan kontrol terhadap dinamika kehidupan masyarakat luas. Baik yang berhubungan dengan urusan kemasyrakatan atau dalam pengelolaan Negara atau pemerintahan. Kewenangan kontrol sosial dapat berupa kewenangan Ar Ri’asah (kepemimpinan dan pelayanan). Artinya semua orang memiliki tangung jawab untuk mengarahkan kehidupan didalamnya terhadap kebajikan dan peduli pada hal-hal yang dapat membahayakan kehidupan sosial. Dan kewenangan ini memang berpusat pada penanggung jawab langsung yakni pemerintah. Atau juga berupa kewenangan Ar Ri’ayah (penjagaan/pemeliharaan). Maksudnya adalah memberikan khidmah pada umat dan menjaga stabilitas kehidupan masyarakat. Sehingga masyarakat berada pada jalur kehidupan yang benar untuk meraih keberkahan yang telah dijanjikan Allah SWT. Hal tersebut sebagaimana yang diibaratkan Nabi SAW. bagaikan penumpang dalam bahtera. Bila ada penumpang yang akan melubangi bahteranya maka yang lain harus mencegahnya bila tidak, maka akan menenggelamkan seluruh penumpangnya.

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”. (Al ‘Araf: 96).

Wallahu ‘alam bishshawab.

0 komentar:

Posting Komentar