Rasa Takut Dua Umar

Source: Eramuslim.com

oleh Abdul Mutaqin

Rasa takut (khauf) dianggap manusiawi. Berarti, manusia dianggap wajar memiliki rasa takut. Apabila rasa takut hilang sama sekali, hilang pula naluri kewaspadaan. Jika kewaspadaan hilang, manusia menjadi amat ”gesit” sehingga ia tidak menyadari bahwa ia tengah bermain-main dalam area berbahaya. Ini bisa membuat nyawa melayang. Ngeri.

Sebaliknya, rasa takut yang amat dominan adalah virus ruhani yang melumpuhkan. Kesalehan apa yang dapat diproduksi jika manusia selalu tegang, curiga, gemetar dan selalu menutup wajah dengan kedua belah telapak tangan di pojok khayal rasa takut? Akhirnya malah stres atau hilang ingatan. Sama saja jiwa telah ”mati dalam hidup”. Tak kalah ngeri.

Ada waktu di mana manusia harus menyertakan rasa takut seperti ketika ia berdo’a meminta kepada Tuhannya (QS. Al-A’raaf [7] 55 dan 56). Ada rasa takut yang yang harus dihadapi dan diusir dengan meminta pertolongan Tuhan. Bahkan seorang Nabi Ibrahim as. pernah merasa takut ketika datang ”tamu” kepadanya (QS. Huud [11] : 47, QS. Al-Hijr [15]: 52, ). Atau Nabi Musa as. juga memiliki rasa takut atas perlakuan penduduk kota terhadapnya (QS. AL-Qasas [28] 18, 21). Atau Nabi Daud as. menyimpan rasa takut tatkala orang yang berperkara datang kepadanya (QS. Shaad [38] : 22). Begitu pula saat Rasul dan pengikutnya ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta digoncangkan (dengan bermacam-macam cobaan) sehingga berkatalah Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya: "Bilakah datangnya pertolongan Allah?"(QS.Al-Baqarah [2] : 214).

Sesuatu yang ditakar wajar dan pas akan membawa manfaat. Begitu pula rasa takut. Biarkan rasa takut ada sebagai respon wajar atas sunnatullah fil kaun seperti takut gagal yang memacu ketekunan dan kegigihan. Takut jatuh sakit yang membentuk disiplin berolah raga dan menjaga kesehatan. Takut ditinggal pasangan hidup yang meningkatkan frekuensi kemesraan dan pelayanan terbaik. Atau takut pada kematian yang menggenjot amal soleh dan frekuensi ibadah. Begitu seterusnya. Dalam konteks ini, rasa takut disebut sebagai cobaan yang harus disikapi dengan kesabaran sebagaimana disinggung QS. Al-Baqarah 155.

Jangan pernah bermain dengan rasa takut yang bersipat khayali dan dilebih-lebihkan. Apalagi ketakutan yang dibangun karena sebab ketidakpuasan atas sunnatullah fil kaun. Takut keriput dan tak menawan lagi lalu mengubah ciptaan dengan mendesain ulang payu dara, bokong, bibir, hidung atau dagu palsu hasil operasi. Takut kalah bersaing dalam bisnis atau dalam pangkat dan jabatan lalu mencari ”penglaris” dan teken kontrak dengan dukun. Takut hidup sengsara karena suami telah bangkrut lalu minggat dengan lelaki lain tanpa menimbang rasa dan perasan dosa. Begitu seterusnya hingga rasa takut semakin menyiksa batin dan bikin cape sendiri.

Apa yang seharusnya dilakukan ketika rasa takut datang menghampiri? Maka lihatlah rasa takutnya, apakah rasa takut yang wajar, rasa takut yang tidak beralasan atau rasa takut yang justeru merusak. Maka kembali pada dasar keyakinan iman, sabar dan tawakkal adalah cara yang paling ampuh untuk mengatasinya. Bahkan teramat penting mampu mendesain rasa takut sebagai daya dorong ke arah yang positif. Para nabi dan orang-orang besar panutan kita juga memiliki rasa takut juga. Patutlah kita belajar dari mereka.

Siapa di antara kita tak kenal Umar bin Khattab yang sangat pemberani? Sebelum Islam, orang Arab menyebutnya "Si kidal yang pemberani". Petarung pasar Ukasy yang selalu menang menaklukkan ”preman” Arab kala itu. Namun setelah Islam dan menjadi Khalifah dia termasuk orang yang sangat penakut. Takut terhadap pertanggung jawaban kepemimpinannya di hari perhitungan kelak.

Karena takutnya, hampir setiap malam dia ngeluyur ke tengah-tengah kampung keluar masuk lorong untuk mengetahui langsung apa yang terjadi pada rakyatnya. Takut kalau-kalau ada rakyatnya yang kelaparan, sakit atau sedang ditimpa ”kesialan” hidup. Dalam satu ronda malamnya itu, sampailah Ia di rumah kecil milik seorang janda miskin dan menangkap dialog si pemilik rumah. Dialog seorang ibu dan anak gadisnya soal kejujuran dalam kemiskinan yang menggetarkan hatinya.

”Nak, sebaiknya kita mencampur susu yang akan dijual besok dengan air karena sedikit sekali hasil perahan yang diperoleh tadi siang. Kalau tidak kita campur, bakal tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan makan untuk hari ini”.

Anak gadis janda itu tidak setuju dengan pendapat orang tuanya dengan alasan khalifah melarang keras perbuatan curang.

”Tidak apalah sekali ini, anakku. Toh khalifah tidak juga mengetahui pebuatan kita ini".

"Bunda, khalifah Umar dapat saja tidak mengetahui. Tapi, Tuhannya Umar pasti mengetahuinya. Pikirkanlah, jangan sampai ibu berbuat demikian. Takutlah kita kepada murka Allah".

Peristiwa yang terjadi menjelang subuh itu melelehkan air mata Umar. Ia menangis haru.

Ada satu lagi Umar yang juga memelihara rasa takut. Adalah Umar bin Abdul Aziz, khalifah ke delapan Daulah Bani Umayyah ini mengucapkan innaa lillaahi wa innaa ilihi rooji’uun sesaat setelah dibai’at sebagai khalifah. Beliau amat takut dengan tanggung jawab atas jabatan yang dibebankan kepadanya. Takut murka Allah apabila ia tidak amanah sebagai kepala pemerintahan. Dalam pidatonya beliau menyatakan :

”Wahai hadirin sekalian, aku telah dibebani tugas dan tanggung jawab yang sangat berat, padahal tanpa terlebih dahulu meminta pendapatku. Jabatan ini juga bukan atas permintaanku. Aku membebaskan kalian dari membai’atku. Silahkan kalian memilih orang yang kalian sukai untuk menjadi khalifah”.

’Ajiib. Rakyat justeru semakin tertarik dan berbondong-bondong membai’atnya. Hingga Umar pulang dan menumpahkan tangisnya. Isterinya; Fatimah, keheranan dan bertanya apa sebab tangisnya membuncah. Umar menjawab:

”Aku telah dipilih menjadi khalifah. Aku melihat di pelupuk mata beban berat di pundakku atas penderitaan orang-orang miskin dan lemah”.

Sejarah mencatat Umar bin Abdul Aziz dengan tinta emas. Kewibawaan, kejujuran dan keadilannya dalam menjalankan roda pemerintahan menempatkannya sebagai khalifah yang disegani dan dicintai segenap rakyat. Kepalanya adalah akal bijak, dadanya adalah keberanian seorang pahlawan, kecerdasannya adalah ke’aliman dan kefaqihan dan mulutnya bak lidah sastrawan. Pada masa pemerintahannya yang tidak lebih dari tiga tahun, beliau sukses melebarkan sayap dakwah dan Daulah Islamiyah hingga Maroko, Aljazair, Tunisia, Tripoli, Mesir, Hijaz, Najed, Yaman, Suriah, Palestina, Yordania, Libanon, Iraq, Armenia, Afghanistan, Bukhara sampai Samarkand.

Namun dalam capaian keberhasilannya, Umar lebih memilih kesederhanaan. Umar tinggal di sebuah rumah kecil yang tidak lebih bagus dari rumah penduduk pada umumnya. Tidak heran, setiap utusan negara lain ingin menemuinya merasa heran seolah tidak percaya bahwa Umar seorang kepala negara tetapi memilih tinggal di rumah yang kecil dan jelek.

Beliau amat takutnya dengan sesuatu yang menyangkut kepentingan publik dalam jabatannya. Bahkan beliau begitu berhati-hati soal fasilitas negara meskipun itu hanyalah sebatang lilin. Pernah seorang gubernur menghadap untuk menyampaikan berbagai hal tentang jalannya roda pemerintahan dan keadaan rakyatnya. Semuanya dilaporkan dalam keadaan baik. Maka sang gubernur balik bertanya hal ihwal khalifah. Bagaimana keadaannya, kesehatannya dan bagaimana pula kesejahteraan keluarganya. Serta merta Umar mematikan lilin dan meminta pelayan menyalakan lampu dari rumahnya. Tentu saja hal tersebut membuat gubernur heran seraya bertanya mengapa khalifah melakukan hal tersebut. Dengan santainya Umar menjawab:

”Wahai hamba Allah, lilin yang kumatikan itu adalah harta Allah, harta kaum muslimin. Ketika aku bertanya kepadamu tentang urusan mereka maka lilin itu dinyalakan demi kemaslahatan mereka. Begitu kamu membelokkan pembicaraan tentang keluarga dan keadaanku, maka aku pun mematikan lilin milik kaum muslimin."

Subhanallah, ’ajiib.

Ini adalah akumulasi buah dari rasa takut yang dimiliki oleh gadis miskin di sudut kota yang menarik hati Khalifah Umar Ibnu Khattab ketika beliau ronda malam. Umar bin Khattab lalu menikahkan putranya Ashim dengan gadis itu. Dari pernikahan itu lahirlah seorang Laila yang tumbuh dalam iman dan taqwa kepada Allah subhanahu wa ta’aala. Gadis suci dan cantik itu kemudian dipersunting oleh seorang yang tepandang di Madinah karena iman dan taqwanya pula, Abdul Aziz bin Marwan. Dari rahim Laila dan wibawa Abdul Aziz bin Marwan, lahir seorang pemimpin Arab. Dialah Umar bin Abdul Aziz yang kemudian menjadi khalifah mewarisi kepemimpinan kakeknya; Umar Ibnu Khattab. Benarlah ungkapan ”like son like father”.

***

Khauf (rasa takut) memiliki kedudukan istimewa dan bermanfaat bagi hati. Tentulah takut yang dimaksud adalah rasa takut kepada Allahu Rabbul Jalaal wal Ikraam. Bahkan, perasaan takut dalam konteks ini merupakan suatu hal yang wajib ada pada diri setiap orang. “… karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (terjemah QS. Ali Imran; 175). “Dan hanya kepada-Ku-lah kamu harus takut (tunduk).” (terjemah QS. Al-Baqarah [2]: 40). Dalam ayat lain Allah memerintahkan kita agar jangan takut kepada manusia, “Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku.” (terjemah QS. Al-Maidah [5]: 44).

Jika rasa takut kepada Allah tertanam kuat di dalam hati seseorang, maka ia akan menjadi benteng yang dapat menghalangi seseorang dari perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah. Bentuknya dapat saja jelmaan dari sifat wara’ atau disiplin memelihara diri dari kemungkinan melakukan hal yang diduga kuat dapat menyeret kepada perbuatan haram.



Berbahagialah orang yang masih menyisakan rasa takut kepada Rabb-nya seperti rasa takutnya dua Umar. Refleksi atas pemaknaan 1 Muharram 1431 H.



Allahu a’lam.

Depok, Desember 2009

abdul_mutaqin@yahoo.com

Ketika Cinta Tidak Perlu Diberi Nama

Udara yang cukup panas siang itu cukup membuat pori – pori kulit saya banyak mengelurkan keringat. Tetapi, saya cukup beruntung karena angkot yang tumpangi hanya berisi beberapa penumpang, hingga saya bisa lebih leluasa duduk tanpa harus berhimpit – himpitan dengan penumpang yang lain.

Tidak beberapa lama kemudian, angkot yang saya tumpangi kemudian sedikit merapat untuk kemudian naiklah dua orang penumpang. Seorang wanita yang mungkin umurnya saya perkirakan masih 20-an dengan dua orang anaknya. Secara jujur saya ingin mengatakan penampilan wanita muda itu dengan kedua orang anaknya itu jauh dari kesan menyejukkan mata. Rambut kusam dengan pakainnya yang bila boleh dikatakan tidak layak lagi.

Tetapi yang paling menarik perhatian saya adalah dua orang bocah yang duduk bersama perempuan itu. Dua orang bocah yang penampilan setali tiga uang dengan wanita muda itu. Bocah perempuan yang kira-kita umurnya delapan tahun duduk didekat saya, beberapa benjolan yang berisi nanah mengihiasi kepala dan bagian kaki serta lenganya. Dan sedikit menimbulakan bau yang kurang sedap. Begitu juga dengan bocah satu tahun yang berada dalam gendongan perempuan itu.

Beberapa penumpang yang ada didalam angkot itu, sedikit menutup hidungnya, mungkin karena bau yang ditimbulakan oleh koreng – koreng penumpang kecil itu. Saya yang kebetulan duduk di dekat dua bocah itu, rasaya pun ingin muntah, Karena bau anyir itu.

Merasa tidak diharapkan kehadirannya, wanita itu kemudian merapatkan bocah tertuanya untuk lebih dekat kepada tubuhnya, memeluk tubuh mungil itu dengan sebelah tangannya, sedang tangan yang satu ia pergunakan untuk menggendong bocah yan paling kecil. Tangannya kemudian membelai kepala anaknya yang tertua dan menciumnya penuh sayang.

Melihat apa yang dilakukan wanita muda itu, membuat hati saya jadi terenyuh. Saya yakin wanita itu pasti merasa bahwa orang – orang yang berada di angkot itu merasa terganggu dengan kehadiran mereka. Namun, perbuatannya tadi itu saya tafsirkan sebagai bentuk pembelaan kepada kedua anaknya. Sebagai bentuk wujud cinta seorang ibu keapada sang anak. Apapun keadaan anaknya.

Ah, saya jadi teringat dengan wanita mulia yang ada di ujung Sumatera. Ibu saya, yang selalu setia menyambut kedatangan saya dari luar kota tempat saya kuliah dengan senyumnya yang menawan. Tak Pernah saya berpikir betapa besar cinta wanita separuh paya itu kepada saya. Sebuah cinta yang murni bagaikan tetesan embun di pagi hari yang menyegarkan suasana pagi hari yang sejuk.
Source : Eramuslim.com

oleh Dian Sianturi

Perasaan cinta. Yang tidak hanya dilatar belakangi oleh nafsu untuk memiliki sepenuhnya yang dicintai. Sebuah perasaan yang tulus untuk kebahagiaan sang buah hati. Sebuah ungkapan kasih sayang untuk sebuah daging yang telah lama bersemayam dalam tubuhnya. Karena sesungguhnya cinta adalah perasaan di mana setiap orang yang memiliki perasaan itu akan sepenuhnya menyerahkan jiwa dan raganya untuk yang di cintai.

Rumit memang, untuk mendefinisikan rasa cinta yang tak akan pernah habis untuk di bahas keberadaannya. Namun, toh tak ada salahnya bila kemudian saya merasakan rasa cinta begitu besar kepada semua yang layak untuk saya cintai apapun itu bentuknya. Tanpa aturan – aturan yang mengharuskan cinta itu untuk di definisikan artinya secara kaku.

Seperti juga perasaan wanita muda yang saya jumpai terhadap dua orang anaknya yang berada di angkot, kepada dua bocah yang mungkin sebagian orang mengganggapnya sebagai makhluk yang jijik. Tapi itulah sebenarnya rasa cinta yang kadang membuat kita memiliki energi lebih untuk melindungi orang yang kita cintai. Toh sebenarnya wanita itu juga mungkin seperti saya, tak mengerti apa itu sebenarnya definisi dari cinta yang abstrak. Wallahu.alam.

Ikhwan dan Masalah Kaum Wanita

Tujuan yang diinginkan Hasan al-Banna bergerak di lapangan ini adalah untuk mempersiapkan kader generasi dari para pemudi dan kaum wanita.

Dari Buku: Ikhwanul Muslimin; Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan.

Penulis: Syaikh Jasim Muhalhil.

Dalam pemikiran Hasan al-Banna rahimahullah jelas sekali bahwa kaum wanita muslimah memiliki peran yang sangat strategis. Peran tersebut memiliki pengaruh besar dalam pembentukan rijal [tokoh] dan ibu-ibu masa depan.

Merekalah yang menjadi pilar-pilar yang berfungsi menopang da’wah Islam, membentuk pribadi muslim, kemudian keluarga muslim, masyarakat muslim yang melahirkan sebuah sistem yang mempraktekkan syari'at Islam.

Ketika Hasan Al-Banna membuat fondasi awal daaru da'wah di Isma'iliyah, beliau membangun masjid dan dua buah sekolah. Pertama, sekolah khusus kaum pria yang dinamakan "Ma'had Hira Islami", dan kedua sekolah khusus wanita yang disebut "Madrasah Ummahatil Mu’minin".

Hasan al-Banna mencurahkan perhatian besar pada sekolah anak-anak wanita, sebab saat itu belum ada gagasan teori pengajaran bagi anak wanita. Beliau mencoba meletakkan manhaj Islam modern, yang menghimpun antara adab Islam yang mulia bagi anak wanita, kaum ibu dan para isteri, juga tuntutan zaman berupa ilmu secara teoritis dan praktis.

Pada saat da’wah telah mengakar di antara pemudi dan ibu-ibu muslimah di Cairo dan berbagai kota lainnya, Hasan al-Banna mengusulkan pembuatan kantor syu'bah untuk akhwat muslimat yang akan digunakan juga sebagai tempat belajar mereka, kantor untuk syu'bah Ikhwanul muslimin, sekaligus masjid-masjid yang akan mereka kelola.

Dalam hal ini, syu'bah akhwat dibiarkan mengurus sendiri aktivitas mereka, tanpa campur tangan Ikhwan. Kwantitas syu'bah akhwat berkembang pesat di Kairo dan berbagai kota, hingga mencapai kurang lebih seratus syu'bah.

Begitupun upaya keras Ustadz Hasan a1-Banna rahimahullah yang sebagian besar dalam mengarahkan para mahasiswa dan alumnus perguruan tinggi.

Dalam hai ini, al-Banna tak lupa memperhatikan kondisi para mahasiswi, alumnus puteri dan guru wanita. Beliau mempunyai jadwal pekanan pertemuan untuk memberi pengajaran kepada para akhwat yang selalu dipenuhi meskipun beliau dalam kondisi sakit.

Tujuan yang diinginkan Hasan al-Banna rahimahullah bergerak di lapangan ini adalah untuk mempersiapkan kader generasi dari para pemudi dan kaum wanita umumnya melalui pembekalan mereka dengan tarbiyah Islamiyah yang matang, di samping pengetahuan fiqih dan sejarah.

Ini dilakukan untuk memper siapkan terbentuknya keluarga Islam yang secara dominan dapat terbentuk lewat peran isteri shalihat, di samping peran suami.

Pihak istrilah yang menjadi penopang suami hingga para suami mampu menanggung beban da'wah Islam. Pihak istrilah yang berfungsi mendampingi peran da'wah suami. Dan pihak ibulah yang memelihara anak-anaknya untuk cinta pada kebaikan, serta membenci keburukan.

Tanpa peran ibu muslimah shalihah, dan isteri muslimah shalihah, mustahil bangunan ikhwan berdiri kokoh, betapapun kwalitas para rijalnya. Karena itu, Hasan al-Banna membangun da'wah di atas dua asas secara bersamaan. Di waktu kaum pemuda tumbuh menjadi dewasa, pada saat yang sama, tumbuh pula para pemudi menjadi kaum wanita dewasa, para akhwat dan para ibu.

Dua pilar yang seimbang.

Akan tetapi, disebabkan frekwensi berkumpul di hadapan para akhwat, tidak sama dengan frekwensi perkumpulan para Ikhwan, maka Ustadz Hasan al-Banna rahimahullah menjadikan saat perkumpulannya di hadapan para akhwat lebih diarahkan dalam rangka tatsqif (perluasan wawasan keilmuan) dan tarbiyah, tidak dalam hal keorganisasian.

Meski demikian, Hasan al- Banna tidak melupakah peran para akhwat untuk ambil bagian dalam jabatan kepengurusan. Untuk hal ini, beliau sendiri melakukan kaderisasi dan pengawasan kepada para akhwat.

Uslub inilah salah satu uslub terpenting dalam menopang kesuksesan tanzhim wanita dalam tubuh Ikhwanul Muslimin. Da’wah Ikhwan lebih merupakan da’wah amaliyah, sehingga lebih mementingkan kerja atau praktek, dan tidak mengakui prestasi intelektual belaka.

Da’wah Ikhwan tidak membatasi kajian-kajian pengetahuan keislaman hanya sampai batas kajian semata. Da’wah Ikhwan adalah ladang praktek, di mana para anggotanya berpendapat bahwa merekalah orang yang paling pertama dituntut mempraktekkan apa yang mereka ketahui di ladang tersebut. Di dalam diri pertama kali, kemudian di rumah, ketika bekerja, di jalanan, dan di tempat-tempat pertemuan.

Para akhwat, setiap mereka memperoleh ilmu dari ajaran Islam, mereka langsung mendapati ladang prakteknya di rumah. Di sanalah mereka menerapkan ajaran-ajaran Islam tersebut atas diri, para suami, anak-anak dan keluarga.

Dari sinilah da'wah bertolak ke depan, tanpa hambatan yang berarti. Bila dua ekor kuda telah menarik sebuah pedati ke satu arah, niscaya ia akan berjalan mantap. Sebab analoginya, hambatan-hambatan perjalanan eksternal lebih mungkin diatasi daripada hambatan internal.

Hambatan internal dalam da'wah, ialah hambatan yang muncul dari dalam rumah, dari kalangan keluarga. Jika sebuah pedati ditarik oleh dua ekor kuda ke arah yang berbeda, mustahil anda akan sampai pada tujuan.

Jama'ah Ikhwan menolak sikap terhadap wanita yang berasal dari adat yang buruk, di mana kaum pria memenjarakan dan memingit kaum wanita di rumah, dan menggunakan mereka hanya untuk kepuasan dan urusan melahirkan anak.

Kaum wanita jadi tidak kenal dunianya kecuali dalam dua hal tersebut. Hal seperti itu terus berlangsung, sejak ia lahir ke dunia sampai ke liang kubur...!

Jama'ah memandang bahwa agama lslam sama sekali tak mengajarkan sikap itu. Yang wajib adalah agar kita berkasih sayang di atas agama Allah daripada memaksakan pendapat kolot dan rancu.

Jama'ah menekankan kepada masyarakat bahwa agama Islam tidak hanya diturunkan semata untuk kaum lelaki. Sehingga kaum wanita pun wajib terlibat dalam khidmat pada Islam, memberi saham sempuma dalam memperjuangkan kebaikan terhadap Islam dan generasinya.

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), “Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh pastilah akan Kuhapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik." (QS. Ali Imran: 195)

Kemudian menyebutkan, meskipun pada prinsipnya kaum wanita mempunyai hak yang sama dengan kaum pria, bukan berarti Islam mengajak pada pemikiran feminisme yang menyamakan total antara pria dan wanita.

Akan tetapi, Islam memberikan hak kepada kedua jenis, sesuai dengan kondisi penciptaan, dan perbedaan persiapan. Bahwa yang dimaksud persamaan antara pria dan wanita adalah dalam hal agama, aqidah, pahala, balasan, hak-hak keluarga, mu'amalah harta dan menuntut ilmu.

Karena itu, Ikhwan menyediakan rubrik khusus wanita dalam majalah mereka dengan nama "al-Baitul Muslim". Inti pembahasan rubrik tersebut adalah masalah kewanitaan dalam Islam.

Islam telah memelihara, melindungi dan mengatur hak-hak wanita, setelah sebelumnya terkubur oleh gelombang feminisme yang dipropagandakan para pendukungnya, agar kaum wanita mengikuti tokoh-tokoh mereka di Eropa hingga mengembalikan wanita ke zaman jahiliyah.

(Buku Ikhwanul Muslimin; Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan Oleh Syaikh Jasim Muhalhil)

source: Eramuslim.com

Ikhwan, Jihad, Politik, dan Partai

Politikus sejati adalah mereka yang sepenuh hati menumpahkan potensi diri untuk kondisi umat ini.

Dari Buku: Ikhwanul Muslimin; Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan.

Penulis: Syaikh Jasim Muhalhil.

Ikhwan dan Jihad

Ikhwan memandang bahwa jihad adalah kemestian dalam da 'wah. Ikhwan meletakkan poin jihad pada rukun keempat dari arkan bai'at.

Berkata Ustadz Hasan al-Banna rahimahullah: Jihad merupakan kewajiban yang terus berlaku hingga hari kiamat. lnilah yang dimaksud dalam sabda Rasulullah saw.: "Barang siapa yang meninggal dia belum berjihad, serta belum berniat untuk berjihad, maka ia mati secara j ahiliyah.”

Jihad paling rendah adalah pengingkaran hati, dan yang paling tinggi berperang di jalan Allah. Di antara keduanya adalah jihad dengan lisan, pena, tangan, dan ucapan yang hak di hadapan penguasa durjana.

Da'wah tidak dapat hidup kecuali dengan jihad fi sabilillah dan harga mahal yang harus dipersembahkan untuk mendukungnya. Niscaya pahala besar akan diberikan kepada para aktivis da'wah.

"Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang se'benar- benarnya...” (QS. al-Hajj:78)

Sebab itu, syi’ar yang selalu dikumandangkan adalah “al-jihadu sabiluna jihad adalah jalan kami."

Prinsip jihad Ikhwan tidak hanya dalam bentuk ceramah, syi’ar, dan makalah yang membicarakannya, tapi teraktualisasi secara riil ketika di Palestina terbuka peluang untuk berperang.

Peperangan tersebut mencatat berbagai strategi dan pengalaman perang yang dilakukan Ikhwanul Muslimin, yang telah tertulis dalam berjilid-jilid buku. Hendaknya jilid-jilid buku yang mencatat peristiwa ini dibaca oleh setiap muslim, untuk memberi pengaruh terhadap ruh dan kekuatan terhadap mereka. Agar mereka dapat meresapi makna izzah dan rasa bangga terhadap intima (penisbatan) mereka kepada ummat Islam.

Tapi sayangnya, buku-buku itu tidak terlalu mendapat perhatian dari ummat Islam. Berlainan sekali dengan sikap musuh-musuh kita yang justru mengkaji dan mempelajari seluruh isi buku-buku tersebut secara detail.

Cukuplah disini kita mengingat bagaimana spontanitas dan sambutan besar para Ikhwan dari seluruh penjuru dunia, saat Ustadz Hasan al-Banna rahimahullah membuka kesempatan bagi mereka untuk bergabung dengan pasukan sukarelawan jihad di Palestina.

Salah satu syarat yang beliau tetapkan bagi calon mujahidin adalah ridha kedua orang tua mereka untuk turut dalam jihad.

Ikhwan dan Politik

Masalah ini telah memunculkan reaksi banyak pihak. Di antara mereka ada yang curiga, memunculkan gelar negatif, dan melontarkan tuduhan.

Terkait dengan masalah ini, ustadz Hasan al-Banna rahimahullah mengatakan:

"Wahai ummat Islam, sesungguhnya kami menyeru kalian, dengan al-Qur'an dan sunnah di tangan kami, amal para salafushalih menjadi qudwah kami. Kami menyeru kalian kepada Islam, kepada ajaran-ajaran Islam, hukum-hukum Islam, hidayah Islam. Bila kalian menganggap hal ini sebagai sikap yang berbau politik, maka itulah politik kami.

"Bila orang-orang yang menyeru kalian pada prinsip-prinsip ini disebut kaum politikus, berarti al-hamdulillah mungkin kamilah orang-orang yang banyak berkecimpung dalam politik. Sebutlah apa saja tentang sikap ini, sebutan-sebutan itu tidak berpengaruh negatif bagi kami hingga jelas apa makna sebutan itu dan tersingkap tujuannya."

"Wahai ummat Islam, berbagai sebutan dan nama tersebut hendaknya tidak menghalangi kalian dari hakikat, tujuan dan mutiara. Sesungguhnya yang dikehendaki Islam dalam politiknya adalah kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah politik kami yang tidak ada gantinya. Karena itu, berpolitiklah, dan bawa ghirah kalian di atasnya. Kemuliaan ukhrawi menanti kalian."

"Dan sesungguhnya kamu akan mengetahui (kebenaran) al-Qur'an setelah beberapa waktu lagi." (QS. Shaad: 88)

Tentang Politik Kepartaian

Ustadz al-Banna rahimahullah mengatakan: "Adapun yang menyebut kami sebagai partai politik, maka kami tidak mendukung satu partai dan menyaingi selainnya. Kami tidak akan berubah haluan menjadi seperti itu dan tidak seorangpun yang dapat merubah atau merancukan prinsip kami dalam hal tersebut.

Yang dimaksud bahwa kami politikus, adalah kami menumpahkan perhatian terhadap kondisi ummat kami. Kami meyakini bahwa kekuatan secara legislatif merupakan bagian dari ajaran Islam yang sesuai dengan hukum-hukumnya.

Kebebasan politik adalah salah satu rukun dan kewajiban dalam Islam. Kami berusaha keras untuk dapat mewujudkan kebebasan dan meluruskan perangkat legislatif. Kami yakin ini bukan hal baru, tapi telah dikenal oleh setiap muslim yang mempelajari agama Islam secara benar.

Kami tidak memiliki persepsi tentang da'wah dan eksistensi kami kecuali demi mewujudkan sasaran itu. Dan kami tidak akan keluar sedikitpun dari da'wah kepada Islam. Islam tidak mencukupkan seorang muslim sebatas memberi nasihat dan petunjuk, tapi hingga dalam tahap perjuangan dan jihad.

"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Ankabut: 69)

Islam adalah agama persatuan dalam segala hal. Islam adalah agama kelapangan hati, kebersihan jiwa, persaudaraan hakiki, ta'awun yang bersih antara manusia seluruhnya, terlebih dengan sesama ummat dan bangsa yang satu. Islam tidak menghendaki dan membenci sistem kepartaian.

Al-Qur'an mengatakan: "Dan berpegang teguhlah kalian dengan tali (agama) Allah seluruhnya, dan janganlah bercerai berai." (QS. Ali Imran: 103)

Rasulullah saw. bersabda: "Maukah kalian aku tunjukkan dengan amal yang lebih utama daripada shalat dan puasa?”

Mereka mengatakan: “Tentu saja ya Rasulullah.” Rasul bersabda: “Memperbaikl hubungan dengan sesama, sebab sesungguhnya kerusakan hubungan dalam hal ini adalah pencukur. Aku tidak mengatakan mencukur rambut, tapi mencukur agama.”

Di sini tentu patut disebutkan perbedaan antara sistem kepartaian -yang selalu mengangkat syi'ar perbedaan, pembagian kelompok dalam hal pendapat, dan orientasi- dengan kebebasan pendapat yang dibolehkan dan diperintahkan dalam Islam. Juga sikap menyaring permasalahan, pembahasan berbagai perkara dan perbedaan terhadap apa yang disodorkan guna menegakkan al-haq.

Sehingga bila al-haq telah jelas, ia akan menurunkan hikmah kepada seluruh masyarakat. Sama saja apakah dalam perwujudannya mengikut kepada mayoritas atau kesepakatan umum.

Dalam berbicara soal politik, patut pula ditegaskan bahwa kekuasaan bukan menjadi sasaran Ikhwan. Tujuan mereka adalah untuk mewujudkan sistem Islami. Kapanpun sistem ini wujud, dan siapapun orang yang mewujudkannya, Ikhwan siap menjadi prajurit dan pendukungnya.

Ustadz Hasan al-Banna rahimahullah mengatakan: "Ikhwan tak bermaksud merebut kekuasaan, bila di antara ummat terdapat orang yang siap memikul beban dan melakukan amanah ini, serta menerapkan sistem yang Islami dan Qur'ani. Maka Ikhwan siap menjadi prajurit, pendukung dan penolongnya."

(Buku Ikhwanul Muslimin; Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan Oleh Syaikh Jasim Muhalhil)

Source: Eramuslim.com

Prinsip-Prinsip Dakwah Ikhwan

Setiap orang perkataannya dapat diambil atau ditolak kecuali al-ma'shum (yang terpelihara dari dosa) yakni Rasulullah saw.

Dari Buku: Ikhwanul Muslimin; Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan.

Penulis: Syaikh Jasim Muhalhil.

Prinsip Pertama

Berhukum kepada al-Kitab dan as-Sunnah. Prinsip yang sama sekali tidak boleh dilanggar adalah berhukum kepada Allah Azza wa Jalla. Karena Allah telah memerintahkan kita untuk itu,

“Dan apa-apa yang kalian perselisihkan di dalamnya dari sesuatu maka hukumnya (kembali) kepada Allah.” (QS. asy-Syura: 10)

“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan pemimpin kalian. Bila kalian berselisih dalam sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhir, itulah yang paling baik.” (QS. an-Nisa:59)

Allah memerintahkan kita untuk mentaati Rasul-Nya saw., kemudian mentaati pemimpin. Dan bila terjadi perselisihan, baik antara kita dengan pemimpin atau antara sesama kita, maka harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya.

Karenanya Imam Hasan al-Banna rahimahullah mengatakan dalam prinsip kedua, "Dan al-Qur'anul karim dan Sunnah yang suci adalah rujukan setiap muslim dalam mengenali hukum-hukum Islam. Al-Qur'an difahami sesuai dengan kaidah bahasa Arab tanpa berlebihan dan over. Sedangkan pemahaman sunnah yang suci dikembalikan kepada para tokoh hadits yang mulia."

Prinsip kedua

Setiap orang perkataannya dapat diambil atau ditolak kecuali al-ma'shum (yang terpelihara dari dosa) yakni Rasulullah saw. Tentang hal ini Ustadz Hasan al-Banna mengatakan dalam prinsip keenam, “Setiap orang dapat diambil perkataannya atau ditinggalkan kecuali al-ma'shum Rasulullah saw. Dan setiap yang datang dari para salaf ridhwanullahi 'alaihim yang sesuai degan al-Kitab dan Sunnah kami terima. Bila tidak maka Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya lebih utama untuk diikuti. Akan tetapi kami tidak menyebut pribadi-pribadi tertentu yang berselisih dalam hal ini melalui cacian atau penghinaan. Kami serahkan mereka dengan niat mereka kepada Allah, dan mereka akan memperoleh balasan apa yang telah mereka perbuat."

Terkait dengan hal inilah Ustadz Hasan al-Banna mengatakan, "Karena itu setiap orang, kecuali al-ma'shum saw., dapat diambil perkataannya atau ditolak."

Perkataan seseorang dapat dijadikan sandaran, selama memiliki dalil yang jelas tentang kebenarannya, dan ditolak selama tidak jelas petunjuk kebenarannya.

Dalam hal ini, ketika Ikhwan mengangkat perkataan para ummat terdahulu dari para imam fiqih, dan bahasa Arab, tidak terbetik dalam hati kami bahwa kita wajib hukumnya mengikuti mereka, apapun yang mereka katakan.

Meskipun demikian kami tetap berhujjah dengan perkataan mereka dan merekalah imam-imam fiqih, yang mengetahui berbagai uslub fiqih. Karenanya, Ikhwan juga tidak membolehkan seseorang berhujjah dengan apa yang tertera pada majalah yang dikeluarkan Ikhwan, atau juga dengan buku yang ditulis oleh tokoh-tokoh Ikhwan.

Seluruhnya harus dikembalikan oleh al-Kitab dan sunnah yang suci. Seandainya hal tersebut tidak dilarang, niscaya semua orang dapat menghancurkan semua da'wah yang ada di medan da'wah dan harakah.

Prinsip Ketiga

Hasan al-Banna bukanlah sekedar seorang alim yang memberi pelajaran pada murid-murid sekolah, menganalisa masalah-masalah ilmiyah. Hasan al-Banna adalah seorang yang selalu memfokuskan perhatiannya pada gejolak ummat Islam, keterbelakangan dan kejauhan mereka dari agama mereka, kebodohan mereka terhadap Islam, penguasaan musuh-musuh atas mereka, sehingga beliau ingin mengembalikan kejayaan ummat ini kembali, dengan membina pribadi Islam, dan jama'ah Islamiyah yang dapat mengembalikan keashalahan (kemurnian), dinamika dan kebaikan ummat Islam.

Sedangkan tokoh yang orientasinya membina masyarakat dalam hal ini, bukanlah seperti orang alim yang mengatakan kalimat yang haq kemudian pergi dan tidak perduli pengaruh yang ditinggalkan akibat perkataannya itu.

Hasan al-Banna mengamati banyak hal, ia berjalan selangkah demi selangkah, meletakkan tahapan dalam beramal, di mana setiap tahapan ia bangun hingga pada taraf tertentu kemudian baru dilanjutkan pada tahapan berikutnya.

Hasan al-Banna dalam hal ini selalu berhadapan dengan berbagai realitas pahit. Para pendukung kebenaran hanya sedikit. Dan mereka yang mampu menyempurnakan bangunan dengan baik dari yang sedikit itu lebih sedikit lagi. Jumlah yang sedikit inilah yang harus meretas jalan, di tengah terpaan angin, di tengah kehidupan yang telah di penuhi khurafat, bid'ah dan ikhtilaf.

Hasan al-Banna membangun sebuah bangunan yang tak dapat dilakukan dalam waktu sehari, bahkan satu bulan. Berhadapan secara frontal dengan realitas dan kebatilan yang tak mungkin selesai dengan satu kali gempuran.

Orang-orang yang melemparkan kritik, sambil duduk di balik tumpukan buku dan menghakimi da'wah Syaikh Hasan al-Banna, telah melakukan kesalahan besar. Mereka tidak mengetahui apa tujuan yang diinginkan syaikh dalam da'wahnya.

Sebagian mereka menilai da'wah Ikhwan hanya dari satu tahapan ke tahapan lainnya, sementara yang lainnya tidak dapat menggambarkan harakah secara utuh. Mereka mengira bahwa syaikh dan da'wahnya bertentangan dengan mereka, karena mereka tidak menguasai harakah dan karakteristik da'wah Hasan al-Banna pada tahapan-tahapannya.

Sementara ada pula sebagian yang melihat pada sekelompok orang yang dirangkul oleh jama'ah dan tengah dibina di pangkuan da’wah. Dari sanalah orang-orang itu menilai da'wah, karena menggenalisir dan menyangka bahwa semua mereka adalah anggota Ikhwan.

Yang lain lagi mengkritik harakah berdasarkan prilaku, aqidah dan persepsi anggotanya. Sebagaimana orang-orang kafir menilai prilaku kita kaum muslimin, tanpa dilandasi paradigma dan prinsip yang kita sepakati.

Para kritikus itu memiliki manhaj yang beragam, sumber yang berbeda-beda, setiap orang melihat kebenaran pada satu sisi dan mengklaim da'wah Ikhwan sebatas apa yang mereka anggap benar. Bisa jadi orang lain yang benar, dan bisa jadi dia yang benar. Akan tetapi, karena keragaman manhaj dan sumber tadi, objek kritikannya pun hanya berkisar pada masalah-masalah parsial.

Sesungguhnya Syaikh Hasan al-Banna ingin mengembalikan sebuah arus Iman Islam, yang telah tersingkir dari dada ummatnya. Ia mengikat para pengikutnya dengan ikatan ukhuwwah Islamiyah, melakukan da'wah Islam disana sini, masuk ke dunia akademis, bergerak di bidang militer, hingga kementerian.

Al-Banna mengarahkan masyarakat kepada Islam sesuai pemahaman yang sederhana dan jelas. Terkadang ia mengemas da'wahnya dengan apik agar ummat terhindar dari perpecahan. Meskipun para pengikutnya memiliki pemahaman yang bertingkat-tingkat, namun ia mampu menghimpun mereka dan mendorong arus Islam ini secara umum, serta dapat berinteraksi dengan arus dan menerima perkembangan.

Inilah ruang lingkup yang harus dilihat pada Harakah Ikhwan. Suatu pandangan yang parsial tidak akan bermanfaat sebelum mengetahui ruang lingkup tersebut.

Hasan al-Bana bukan guru spesialis aqidah, atau fiqih. Ia adalah da'i penyeru ummat manusia pada Islam, melakukan pembinaan di atasnya, mengarahkan serta menghimpun manusia kepada Islam. la memiliki pemahaman yang baik terhadap Islam. Akan tetapi ia meletakkan rambu-rambu dan batasan yang tidak berarti pemisahan atau juz'iyah.

Selanjutnya, kita dapat mendiskusikan beberapa tulisan yang mengkritik Jama'ah Ikhwan. Dan dalam menilai pergerakan harakah Islamiyah ini ada beberapa hal yang perlu disepakati:

Pertama, Ketika kami berbicara tentang Ikhwan ,"Salafiyah" bukanlah istilah teknik untuk suatu jamaah, melainkan bentuk pemahaman terhadap Islam dalam menghadapi berbagai faham lain dari berbagai kelompok yang menyimpang. Pemahaman ini ada sejak awal sejarah Islam.

Pada dasarnya, seluruh du'at harus menjalani manhaj Salaf ridhwanullahi'alaihim, bergerak dengannya baik secara pemahaman, amalan dan aqidah. Salafiyah bukan sebuah jama'ah dari jama'ah-jama'ah, dan bukan merupakan satu hizb dari berbagai hizb yang ada.

Kedua, Tuduhan bahwa Ikhwan tidak memiliki persepsi aqidah yang jelas adalah propaganda yang membutuhkan bukti. Dan apa yang disebutkan para kritikus itu tidak dibangun di atas dalil.

Syaikh Hasan al-Banna telah meletakkan dasar-dasar aqidah yang jelas dalam banyak tulisannya. Dalam hal ini beliau selalu merujuk pada al-Qur'an dan Sunnah. Pada keduanyalah terdapat kehidupan dan kesembuhan hati.

Syaikh Hasan al-Banna mengetahui dengan baik perbedaan yang terjadi antara mazhab salaf dan khalaf. Akan tetapi melalui kepekaan seorang da'i ditengah konspirasi musuh-musuh lain, beliau ingin mendekatkan berbagai sudut pandang. Ia berupaya menjelaskan bahwa perbedaan antara salaf dan khalaf bukanlah perbedaan besar. Semestinya pendapat seperti ini tidak harus memunculkan fitnah terhadapnya.

Adapun bahwa beliau mengajak untuk saling menolong di antara kelompok Islam dan madzhab Islam, maka upaya untuk mewujudkan itu tidak membahayakan selama seorang muslim mengetahui manhaj yang benar, dan tetap berpegang teguh kepadanya.

Cukuplah bahwa Syaikh Hasan al-Banna memberi rambu-rambu pemahamannya sebagaimana terdapat pada ushulu al-'isyriin.

Syaikh Hasan al-Banna juga tidak lupa menyebutkan masalah tashawuf yang dimaksud dengan pembinaan jiwa dan pembinaan perilaku, jauh dari khurafat, bid’ah, suatu pola yang telah banyak mendapat pujian dari banyak orang.

Rincian Tuduhan dan Jawaban

Tuduhan bahwa Ikhwanul Muslimin Tidak Memiliki Persepsi Aqidah yang Jelas

Ketika membahas manhaj aqidah Ikhwan, kami telah menjelaskan bahwa aqidah Ikhwanul Muslimin adalah sebagaimana aqidah salafiyyah. Karenanya, Hasan al-Banna begitu besar perhatiannya terhadap masalah aqidah.

Beliau mengatakan, "Yang saya maksud dengan ukhuwwah adalah agar hati dan ruh kaum muslimin itu bersatu dengan ikatan aqidah, sebagai ikatan yang paling kokoh dan kuat."

Masalah aqidah dibahas secara detail dan jelas:

Dalam al-Ushul 'isyriin, masalah tersebut secara gamblang dan rinci dijelaskan dalam poin berikut:

* Prinsip pertama dan kedua, tentang aqidah dan hubungannya dengan amal perbuatan. Inilah aqidah yang-benar dan ibadah yang lurus. Serta al Qur'an dan Hadits sebagai rujukannya.
* Prinsip ketiga: Pengaruh Iman terhadap diri muslim.
* Prinsip keempat:, Tentang jimat dan berbagai bentuk kemusy- rikan dan bid'ah yang harus diperangi.
* Bagian terakhir dari prinsip kesembilan: Tentang penghormatan terhadap shahabat dan persoalan yang terkait dengan mereka, ridhwanullahi ‘alaihim.
* Prinsip kesepuluh: Keyakinan tentang Tauhid uluhiyah dan Rububiyah
* Prinsip ke sebelas: Bid'ah dalam agama Allah dan cara memeranginya.
* Prinsip ke tiga belas: Orang-orang shalih dan karomah.
* Prinsip keempat belas: Masalah kuburan dan bid'ah yang terkait dengannya.
* Prinsip ke lima belas: Masalah do'a dan tawassul.
* Prinsip ke tujuh belas: Aqidah dan keterikatannya dengan amal.
* Prinsip ke delapan belas: Aqli dan naqli dalam aqidah.
* Prinsip ke sembilan belas: Hubungan dalil Aqli dan naqli dalam aqidah, dan apabila terjadi kontradiksi maka dalil naqli lebih diulamakan.
* Prinsip ke dua puluh: Tidak melakukan takfir (mengkafirkan) terhadap orang yang berbuat dosa kecuali dia berikrar dan selalu mengulangi perbuatan itu, sesudah dijelaskan tentang penyimpangannya.

Selain prinsip-prinsip tersebut perhatian tentang aqidah tampak juga pada keterangan beliau pada bab kedua yang membahas tentang da'wah, dijelaskan dalam prinsip pertamanya tentang syumuliyatul fahm, pemahaman Islam yang integral.

Dalam bab ketiga tentang manhaj, prinsip kedua, dijelaskan bahwa landasan pemahaman seorang muslim dan rujukannya dalam manhaj adalah al-Qur'an dan sunnah. Pada prinsip keenam dalam bab tersebut disebutkan bahwa kesucian itu hanyalah pada al-Qur'an dan sunnah Nabi saw.,juga disebutkan sikap yang harus dilakukan dalam menghadapi masalah khilafiyah.

Pada prinsip kesembilan dijelaskan agar seorang muslim tidak tenggelam dalam masalah-masalah perdebatan dan meninggalkan semua unsur yang memecah belah. Kemudian pada prinsip keenam belas menerangkan masalah 'urf dan pengaruhnya.

Di bab keempat, tentang fiqih, dijelaskan dalam prinsip ke tujuh tentang ijtihad dan taqlid. Pada prinsip ke delapan, tentang perselisihan dalam furu' (cabang) dan pertentangan di dalamnya.

Pada prinsip keduabelas, dijelaskan seputar ibadah dan penambahan ibadah serta pemahaman ulama terhadap masalah tersebut.

(Buku Ikhwanul Muslimin; Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan Oleh Syaikh Jasim Muhalhil)

Source: Eramuslim.com

Aktivitas-aktivitas Politik Hasan Al-Banna

Imam Hasan Al-Banna memimpin demonstrasi yang diprakarsai oleh Al-Azhar menuntut penyelesaian segera masalah-masalah yang menimpa Mesir.

Buku: Fikih Politik Menurut Imam Hasan Al-Banna.

Penulis: Dr. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris.

***

Aktifitas-aktifitas politik yang pernah Beliau lakukan bersama para ikhwah, di antaranya:

1. Di sela-sela keberangkatan Naqrasy menemui Dewan Keamanan PBB, Imam Hasan Al-Banna mengundang seluruh lapisan masyarakat Mesir untuk mendatangi masjid-masjid sewaktu pelaksanaan shalat zhuhur untuk mendengarkan orasi umum membahas sengketa lembah sungai Nil, kemudian Imam Hasan Al-Banna memimpin demonstrasi yang diprakarsai oleh Al-Azhar menuntut penyelesaian segera masalah-masalah yang menimpa Mesir.
2. Imam Hasan Al-Banna mengirimkan telegram pada Naqrasyi guna memprioritaskan penundaan pembahasan sengketa lembah sungai Nil dan menuntutnya agar fokus terlebih dahulu pada pembatalan perjanjian 1936, menabuh genderang “jihad” mengusir secara paksa penjajah Inggris dari tanah Mesir serta pernyatan bahwa Ikhwanul Muslimin telah siap maju ke medan jihad.
3. Derasnya gelombang aksi protes, unjuk rasa dan demonstrasi rakyat Mesir membuat pemerintah Mesir dan pemerintah Inggris tertekan, sehingga memaksa mereka berpikir keras untuk bersedia membatalkan perjanjian dan nota kesepahaman 1936.
4. Aktifitas dan kerja politik lain yang dilakoni Imam Hasan Al-Banna adalah pengiriman delegasi-delegasi politik yang mengurus pembebasan Mesir dari penjajahan dan kolonialisme.
5. Pemusnahan semua hal yang berkaitan dengan Inggris di Mesir, ketika setiap anggota ikhwan di masing-masing provinsi mengumpulkan semua buku-buku, majalah-majalah dan surat kabar berbahasa Inggris setelah itu dibakar di lapangan-lapangan umum sebagai bentuk aksi protes terhadap kebijakan politik koloialis Inggris.
6. Penugasan delegasi-delegasi untuk menyerukan pemboikotan semua tulisan berbahasa Inggris serta pemusnahan semua spanduk, baliho dan papan pengumuman berbahasa Inggris yang terpampang di berbagai institusi, pusat-pusat perdagangan dan sebagainya, lalu menggantinya dengan spanduk-spanduk berbahasa Arab.

Penugasan divisi khusus Ikhwanul Muslimin yang berkonsentrasi melakukan pembelaan sengketa lembah sungai Nil untuk menyebarkan ke seluruh penjuru Mesir jutaan selebaran bergambar hati yang diberi warna merah dan ditengah-tengahnya tertulis kata “usir kaum penjajah!!!” hingga pada waktu yang telah ditentukan semua rakyat Mesir keluar dan berkumpul dengan menyangkutkan tulisan tersebut di dada mereka. Sungguh merupakan pemandangan yang menarik.

Aksi Mogok dan Demonstrasi

Di antara bentuk pendidikan politik Imam Hasan Al-Banna dalam menghadapi peristiwa-peristiwa penting dunia perpolitikan Mesir adalah sebagai berikut:

* Imam Hasan Al-Banna pernah mengadakan rapat pembentukan panitia inti yang akan mendialogkan upaya perebutan secara paksa hak rakyat Mesir yang telah dirampas oleh imperealisme Inggris. Dialog tersebut diselengarakan pada tanggal 5 Februari 1946. Sebagai tindak lanjut dari hasil dialog tersebut berupa aksi protes dan demonstrasi menuju istana Abidin. Dalam demonstrasi tersebut mereka menuntut raja Faruq untuk memperjuangkan hak-hak rakyat Mesir yang telah dirampas. Akibatnya, terjadi pembantaian besar-besaran di jembatan Abbas tanggal 9 Februari 1946. Segera setelah gelombang aksi protes yang dilancarkan, akhirnya rezim Neqrasyi tumbang, khususnya setelah gelombang aksi protes yang dikomandoi oleh Musthafa Mu’min, pimpinan mahasiswa Ikhwanul Muslimin di Universitas Al-Azhar.
* Keterlibatan Ikhwanul Muslimin dalam beberapa aksi protes dan demonstrasi di masa rezim pemerintahan Ismail Shidqy. Dalam aksi tersebut, mereka menuntut Ismail berupaya mengembalikan hak-hak rakyat Mesir yang telah terampas. Dua tuntutan utama mereka adalah pengusiran Inggris dari tanah Mesir dan menggalang persatuan guna menyelesaikan sengketa lembah sungai Nil.

Pengerahan massa guna melakukan unjuk rasa sebagai bentuk penegasan dan keseriusan tuntutan mereka atas instruksi dari Ikhwanul Muslimin pada tanggal 10 Mei 1946 dan tanggal 8 Juni 1946. Mereka juga mengungkapkan fakta-fakta yang menyuarakan dengan lantang kepada rakyat Mesir agar menuntut hak-hak mereka serta menolak perjanjian-perjanjian dengan penjajah Inggris serta instruksi melakukan pemboikotan total terhadap Inggris bidang ekonomi, pendidikan dan sosial.

Source: Eramuslim.com

Islam dan Politik

Umat Islam tidak menjadi umat yang sempurna kecuali apabila mereka patuh kepada Allah dengan kepatuhan yang sempurna dalam menjalani agama dan dunia mereka.

Buku: Dakwah Politik antara Pragmatisme dan Profesionalisme

Penulis: Khalid Ahmad Asy-Syantut

**

Definisi Islam

Islam berarti tunduk, patuh dan menerima apa yang dibawa Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam serta berserah diri kepada Allah dalam perintah dan larangan-Nya yang diturunkan melalui wahyu. Penulis lebih merasa tepat dengan menambahkan kata “sempurna”, sehingga definisinya menjadi: tunduk dan patuh secara sempurna terhadap apa yang dibawa Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam. Hal itu karena banyak umat Islam yang tidak memiliki pemahaman bahwa politik merupakan bagian dari Islam dan bahwa Islam itu mencakup din (agama) dan dunia, ibadah dan mu‘amalah, individu, masyarakat dan negara. Allah Ta’ala berfirman, “Dan Kami turunkan kepadamu al-Kitab (al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (an-Nahl [16]: 89)

Diwayatkan dari Ibnu Mas‘ud radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Di dalam al-Qur’an ini Allah telah menjelaskan kepada kita setiap ilmu pengetahuan, segala sesuatu, serta apa yang dibutuhkan manusia terkait urusan dunia dan agama mereka, serta terkait kehidupan dunia dan akhirat mereka.”

Jadi, hukum-hukum agama dan duniawi (politik, ekonomi, sosial dan lain-lain) yang dibutuhkan umat Islam dalam kehidupan mereka di dunia itu telah ada di dalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya dalam bentuk hukum-hukum fundamental dan dan prinsip-prinsip umum yang fleksibel dan menjangkau setiap ruang dan waktu). Umat Islam tidak menjadi umat yang sempurna kecuali apabila mereka patuh kepada Allah dengan kepatuhan yang sempurna dalam menjalani agama dan dunia mereka; di waktu shalat, saat jual beli, saat senang, saat menikah dan dalam berpolitik. Hal itu agar mereka menjadi sebaik-baik umat yang pernah ditampilkan ke hadapan umat manusia, sebagaimana yang dikehendaki Allah ‘Azza wa Jalla.

Hanya saja, problematika umat Islam pada hari ini adalah pemahaman yang parsial terhadap Islam. Pemahaman mereka yang distorsif ini dicekokkan oleh musuh-musuh mereka dan kaki tangannya yang menginginkan Islam menjadi seperti gereja, tidak memiliki hubungan dengan urusan kehidupan dunia. “Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir benci.” (ash-Shaff [61]: 8) Banyak umat Islam hari ini yang tidak ingin memahami politik, karena musuh-musuh Islam menanamkan dalam pikirannya bahwa politik adalah kebohongan, muslihat, tipuan dan intrik seperti yang digambarkan Machiavelli.

Apakah Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam mempraktikkan politik? Apakah bel adalah pemimpin yang memenej urusan masyarakat Muslim? Apakah Khulafa Rasyidun mengatur masyarakat Muslim? Apakah ada pemimpin masyarakat selain mereka? Diriwayatkan dari Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Apabila kalian bertiga dalam perjalanan, maka jadikanlah salah seorang dari kalian itu sebagai pemimpin kalian. Dia itulah pemimpin yang ditetapkan Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam sebagai pemimpin.” Apabila demikian ini ketentuannya dalam perjalanan, maka apalagi saat mukim, karena urusan kehidupan pada waktu mukim itu lebih luas dan lebih banyak dan kebutuhan terhadap seorang pemimpin itu lebih kuat daripada dalam perjalanan.

Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah shallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dunia dalam keadaan tidak memikul suatu bai’at, maka ia mati dalam keadaan jahiliyyah.”
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Maksudnya adalah ia meninggal dunia dalam keadaan memiliki salah satu sifat jahiliyah, yaitu liar dan tidak memiliki imam.” Bai’at ini diberikan kepada khalifah umat Islam—atau yang sama kedudukannya—yang mengatur masyarakat Muslim dan menjalankan urusan mereka.

Imam al-Banna rahimahullah melihat para pemimpin di negara-negara Islam terpengaruh oleh Eropa ketika mereka memisahkan agama dari politik dan pemerintahan. Ia mengingatkan bahaya kesalahan telak yang dilakukan para penguasa ini sehingga mereka menyingkirkan Islam dari politik dan pengelolaan urusan umat. Ia menyatakan bahwa para penguasa dan politisi di negara-negara Islam itu telah menghancurkan sense of Islam di kepala dan pandangan Islami dalam jiwa, dengan keyakinan, pernyataan dan usaha mereka untuk membuat jarak antara arahan agama dan tuntutan-tuntutan politik. Sebagaimana pernyataannya, “Ini adalah awal kelemahan dan kehancuran.” (Lihat kitab Musykilatuna ad-Dakhiliyyah fi Dhau’ al-Islam, hlm. 359 dari kitab ar-Rasa’il)

Imam al-Banna rahimahullah juga menyatakan, “Dapat saya katakan dengan tegas bahwa seorang muslim tidak akan sempurna keislamannya kecuali apabila ia menjadi seorang politisi; jauh pandangannya dalam melihat urusan umatnya, perhatian terhadapnya dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadapnya. Seorang muslim dengan keislamannya itu dituntut untuk memerhatikan setiap urusan umatnya.” Al-Banna juga mengatakan, “Kita semua adalah politisi dengan arti kita memerhatikan urusan umat kita dan berusaha untuk menyempurnakan kemerdekaan.” (Risalah ilath-Thullab, hlm. 8)

Siapa saja yang mendalami kehidupakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah, maka ia akan mendapati bahwa beliau adalah pemimpin suatu jama‘ah yang komit terhadap perintah-perintahnya dan berjuang di bawah panjinya. Kedudukan Syaikhul Islam adalah sebagai imam bagi mereka. Ia menerapkan batasan-batasan syar‘i semampunya, mengubah kemungkaran dengan tangan dan lisan, mengutus para pembantunya dan dai-dainya ke seluruh penjuru dunia. Ia menjalankan perang seorang pemimpin umum (khalifah) saat tidak ada imam yang bijaksana. Ia menyatakan perang melawan Tartar. Tindakan Syaikhul Islam dalam hal ini merupakan tindakan seorang mursyid (guru spiritual) umat, komando jama‘ah dan imam bagi masyarakat umum. Buku-bukunya juga memuat masalah politik syar‘i dan hisbah dalam Islam. Bukunya yang berjudul Minhaj as-Sunnah berisi pemikiran-pemikirannya tentang membangun persepsi yang bersih terhadap hukum Islam dan pemikiran politiknya (Abdurrahman Abdul Khaliq, Ibnu Taimiyyah wal-‘Amal al-Jama‘ah’I, hlm. 9-19)

Definisi Siyasah (Politik)

Politik atau siyasah menurut Islam berarti mengarahkan umat Islam kepada hal-hal yang mengandung kebaikan bagi mereka di dunia dan akhirat. Al-Mawardi mengatakan, “Urusan publik yang menjadi tanggungjawab imam ada sepuluh. Pertama, menjaga agama agar tetap pada dasar-dasarnya yang ditetapkan dan yang disepakati generasi salaf. Apabila muncul seorang pembuat bid’ah, atau orang yang berlaku syubhat menyimpang dari agama, maka imam berkewajiban menjelaskan argumen kepadanya, menjelaskan yang benar dan menjatuhkan sanksi yang sesuai, agar agama terpelihara dari penyimpangan dan umat terjaga dari kesesatan. Kedua, membuat keputusan di antara pihak-pihak yang bersengketa. Ketiga, menjaga keturunan agar tidak bercampur baur nasabnya. Keempat, menerapkan hukum pidana Islam agar terjaga perkara-perkara yang dimuliakan Allah. Kelima, menjaga celah teritorial dengan peralatan perang dan kekuatan militer. Keenam, jihad terhadap orang yang menentang Islam sesudah dilakukan upaya dakwah. Ketujuh, mengumpulkan dan mendistribusikan harta pampasan perang dan sedekah. Kedelapan, membuat anggaran belaja dari baitul mal. Kesembilan, melimpahkan kewenangan kepada orang-orang yang amanah. Kesepuluh, bertindak sendiri dalam melakukan pengawasan terhadap situasi dan kondisi, tidak mengandalkan orang yang diberinya mandat, lantaran sibuk dengan kenikmatan duniawi atau ibadah (15).”

Siyasah berarti berusaha memperbaiki kondisi manusia dengan mengarahkan mereka kepada jalan yang menyelamatkan di dunia dan akhirat.

Al-Fanjari (58) mengatakan bahwa arti siyasah yang sebenarnya adalah sabda Rasulullah SAW, “Dan masing-masing dari kalian dimintai pertanggungjawaban atas orang yang dipimpinnya.” Siyasah Islamiyyah berarti menuntun masyarakat Muslim supaya Allah saja yang dipatuhi. Siyasah dalam Islam memiliki tujuan-tujuan global, di antaranya adalah:

1. Agar umat manusia hanya menyembah satu Tuhan. “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” (adz-Dzariyat [51]: 56)

2. Agar prinsip amar ma’ruf dan nahi munkar itu menyentuh semua manusia. “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah.” (Ali Imran [3]: 110)

3. Menyampaikan dakwah Islam kepada seluruh manusia. “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia.” (al-Baqarah [2]: 143)

4. Agar segala bentuk fitnah (konflik) hilang dari muka bumi. “Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.” (al-Anfal [8]: 39)

Source: Eramuslim.com

Politik Bagian dari Islam

Islam tidak eksis dengan individu-individu, melainkan dengan jama‘ah, dan setiap jama‘ah harus memiliki politik.

Judul Buku: Dakwah Politik antara Pragmatisme dan Profesionalisme

Penulis: Khalid Ahmad Asy-Syantut

***

Politik Bagian dari Islam

Islam tidak eksis dengan individu-individu, melainkan dengan jama‘ah, dan setiap jama‘ah harus memiliki politik. Ad-Darimi meriwayatkan secara mauquf dari ‘Umar bin Khaththab ra bahwa ia berkata, “Islam tidak eksis kecuali dengan jama‘ah, jama‘ah eksis kecuali dengan kepemimpinan, dan kepemimpinan tidak eksis kecuali dengan ketaatan…” Inilah yang dinamakan politik.

Al-Fanjari (61) mengatakan, “Islam tidak membedakan antara politik dan agama. Allah mengaitkan shalat yang merupakan kewajiban ritual dengan zakat yang merupakan ibadah finansial, dan dengan amar ma’ruf dan nahi munkar yang merupakan aktivitas politik. Allah berfirman, “(yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah dari perbuatan yang mungkar; dan kepada Allah-lah kembali segala urusan.” (al-Hajj [22]: 41)

Apakah Praktik Politik Fardhu Kifayah?

Ya, aktivitas politik hukumnya fardhu kifayah. Apabila sebagian dari umat ini telah sanggup melaksanakannya, maka gugurlah kewajiban bagi sebagian yang lain. Dan apabila tidak seorang pun yang menjalankannya, maka semua umat Islam berdoa. Lalu, apa tujuan aktivis politik menurut Islam?

Ketika Rasulullah SAW wafat, maka para sahabat mulia mencurahkan perhatian untuk mengangkat pengganti beliau. Mereka sibuk mengurusi masalah ini hingga menyesampingkan pemakaman Rasulullah SAW. Apa makna di baliknya? Mereka tidak memakankan Rasulullah SAW sampai Abu Bakar ash-Shiddiq dibai’at, kemudian setelah itu barulah Rasulullah SAW dimakamkan. Ath-Thabari meriwayatkan: ‘Amr bin Harits berkata kepada Sa’id bin Zaid, “Apakah kamu menyaksikan peristiwa wafatnya Rasulullah SAW?” Ia menjawab, “Ya.” ‘Amr bertanya, “Kapan Abu Bakar dibaiat?” Sa’id menjawab, “Pada hari Rasulullah SAW wafat. Mereka tidak senang sekiranya mereka tidak dalam keadaan berjama’ah meskipun sebentar saja.”

Dari sini kita memahami bahwa umat Islam tidak boleh berlama-lama dalam keadaan tanpa imam yang memimpin mereka dengan Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. Kalau tidak, maka mereka semua berdoa (Abdurrahman Abdul Khaliq, 9). Jadi, tujuan dari politik praktis hari ini adalah mengembalikan kekhalifahan Islam, dan ia akan kembali sebagaimana yang dijanjikan Rasulullah SAW. Karena itu, Syaikh Said Hawwa mengatakan, “Selama hukum Islam belum eksis, maka berpolitik menjadi fardhu ‘ain bagi setiap muslim. Keadaan yang tidak terkendali itu tidak bisa menegakkan hukum. Karena itu, adanya pemerintahan itu hukunya wajib. Setiap sesuatu yang dibutuhkan umat Islam untuk mendirikan pemerintahan yang Islami itu juga hukumnya wajib. Semua ini disebut politik (Jundullah, 397).

Dr. Ahmad Syauqi al-Fanjari mengatakan bahwa berpolitik itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Hal itu dipahami dari firman Allah, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali Imran [3]: 104)

Ini adalah salah satu penafsiran ayat. Amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan salah satu bentuk dari aktivitas politik, dan itu hukumnya wajib bagi setiap muslim. Maksudnya, agar kalian semua menjadi umat yang mengajak kepada kebaikan. Seorang muslim tidak bisa lari dari kewajiban ini dengan beruzlah dan bersikap pasif. Setiap muslim wajib memerhatikan urusan-urusan umat Islam dan persoalan-persoalan politik mereka. Ia harus memelajari problematika mereka dengan berbagai macam sebab dan jenisnya. Setiap orang yang berusaha untuk menyendiri dan lari dari permasalah-masalahan umat Islam, dengan berdalih konsentrasi ibadah dan agama saja, maka dia itulah yang disebut mendustakan agama. Ini adalah cara beragama palsu yang ditentang Islam. Saat menafsirkan ayat tentang orang yang mendustakan agama, Sayyiq Quthub mengatakan, “Agama ini bukan eksterior dan ritual semata. Ia tidak disebut agama selama tidak melahirkan dampak dalam hati yang mendorong untuk melakukan amal shalih dan termanisfestasi dalam perilaku-perilaku yang membuat kehidupan manusia di bumi ini menjadi baik dan maju. Begitu pula, agama ini bukan terdiri dari bagian-bagian yang terpisah-pisah, dimana seseorang bisa mengerjakan bagian yang ingin dikerjakannya dan meninggalkan bagian yang ingin ditinggalkannya. Agama ini adalah manhaj yang komplementer, dimana ibadah dan ritualnya, serta tugas-tugas individual dan sosial bantu-membantu.”

Mengapa Umat Islam Mengabaikan Politik?

Ilmu Kalam (theologi) berkembang luas di kalangan umat Islam pada masa dinasti Umawiyah dan ‘Abbasiyah. Saat itu pemikiran-pemikiran yang mengecilkan urgensi kepemimpinan dikedepankan, sebagaimana yang dikatakan kelompok Mu’tazilah, “Kepemimpin itu wajib berdasarkan logika, bukan berdasarkan syariat.” An-Nawawi membantah pernyataan mereka dengan mengatakan bahwa para ulama menyepakati kewajiban mengangkat seorang khalifah, dan kewajibannya itu berdasarkan syari‘at bukan akal. Pendapat yang dikutip dari seorang penganut paham Mu’tazilah yang bernama al-Asham bahwa kepemimpinan itu hukumnya tidak wajib, dan dari penganut paham Mu’tazilah lain bahwa kewajibannya berdasarkan logika, bukan berdasarkan syari‘at, merupakan pernyataan yang keliru.”

Di antara faktor-faktor yang ikut andil dalam menjauhkan umat Islam dari politik adalah sebagai berikut:

Raja yang Menggigit

Maksudnya adalah ketika penguasa meninggalkan al-Qur’an, sehingga memusatkan perhatiannya pada fikih dan membatasinya pada fikih ibadah ritual, ditambah dengan mu’amalah. Mereka menghindari fiqih siyasah kecuali dalam kasus-kasus yang jarang (seperti al-Mawardi, al-Juwaini dan al-Fara’—semoga Allah merahmati mereka). Karena pembicaraan mereka tentang politik itu akan membuat para penguasa marah. Diwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa ia berkata, “Sungguh, buhul Islam itu akan terurai seutas demi seutas. Setiap kali seutas tali terurai, maka manusia bersiap-siap untuk mengurai tali sesudahnya. Tali yang pertama kali terurai adalah pemerintahan, dan tali yang terakhir terurai adalah shalat.”

Nah, penguasa yang menggigit itu telah menggugurkan prinsip pemerintahan yang Islami, yaitu syura dan baiat. Para ulama bersikap diam sebagai bentuk ijtihad mereka. Menurut mereka, diamnya mereka itu lebih kecil mudharatnya daripada berbicara tentang politik. Pemikiran al-Irja’i dan ath-Thurqi (sufi radikal) sangat dominan, yaitu untuk menjauhi kehidupan sosial. Kehidupan asketik semacam ini masih dipraktikkan oleh banyak umat Islam hingga hari ini.

Raja yang Diktator

Di awal abad 20 masehi terjadi kudeta militer di sebagian besar wilayah dunia Islam. Militer menguasai bangsa-bangsa Islam, memasung kebebasan dan membungkam hak bicara. Pada ulama, pemikir dan dai terbatasi geraknya. Semua itu terjadi akibat rencana dan dukungan zionis dan salib internasional.

Amerika yang mengklaim sebagai pembela hak asasi manusia itu mendukung diktator-dikator yang mencekik dan menindas bangsanya sendiri, sering kali secara rahasia, dan sesekali secara terang-terangan. Para diktator itulah yang merealasikan keinginan zionis dan salib internasional, yaitu agar bangsa-bangsa tersebut tetap dalam keadaan tertinggal dengan berbagai bentuknya. Dan pada gilirannya, negara-negara tersebut tetap menjadi pasar dimana mereka menjual sumber daya alam—termasuk minyak—kepada Amerika dengan harta yang ditetapkan Amerika. Dan agar negara-negara tersebut menitipkan dana mereka yang berlimpah di Amerika sehingga bisa dimanfaatkan oleh bank-bank Amerika. Bahkan ada seorang diktator yang tega membakar sejumlah ulama di satu tempat. Demikianlah yang dilakukan orang-orang komunis di Kabul. Para ulama, pemikir dan dai dijebloskan ke dalam penjara. Mereka menghadapi berbagai bentuk penyiksaan dan penghinaan.

Ada pula ribuan ulama yang terusir dari negaranya dan menjalani sebagian besar hidupnya secara terasing dan jauh dari tanah airnya. Dengan demikian, para diktator telah menghabisi setiap orang yang punya sedikit saja perhatian tentang politik dan kehidupan sosial. Para diktator itu menyarankan ulama lain untuk menjauhi mereka, dan mendorong umat Islam untuk menjauhi politik dan bekerjasama dengan pihak lain.

Machiavellisme

Dari faktor yang menjauhkan umat Islam dari politik adalah pemahaman keliru tentang politik dicekokkan Machiavelli ke dalam otak manusia, yaitu bahwa politik itu sarat kebohongan, muslihat dan intrik, dan tujuan menghalalkan segala cara. Hal tersebut membantu menjauhkan ulama Islam dari politik. Paham ini didukung dengan paham tentang pemisahan antara agama dan negara di Barat. Ini adalah paham yang sangat berbahaya, karena merupakan salah satu bentuk pemahaman parsial terhadap Islam.

Lalu muncul kebangkitan Islam dan tersebar pemahaman yang benar tentang Islam sesuai yang diturunkan Allah di dalam Kitab dan diajarkan Rasul SAW kepada para sahabat beliau sesuai Sunnah beliau yang mulia. Islam sebagai sistem yang meliputi agama dan duniawi, agama dan negara. Umat Islam menjadi pelajar politik, dan mereka tahu bahwa politik Islam itu berbeda dengan Machiavellisme, sebagaimana ekonomi Islam berbeda dengan sosialisme dan kapitalisme. Karena politik Islam adalah politik etis yang berpijak pada prinsip, bukan pada kepentingan, sebagaimana telah saya jelaskan dalam buku saya yang berjudul at-Tarbiyyah as-Siyasiyyah fil-Muj’ama' al-Islami (Pendidikan Politik di Tengah Masyarakat Islam). Aksioma ini telah tersebar dalam skala luas di kalangan umat Islam pada hari ini, sehingga mereka menuntut penerapan syari‘at Islam dalam kehidupan mereka, dan cara terbaik yang dapat mereka tempuh adalah melalui parlemen dan demokrasi sebagai sebuah sistem dunia hari ini yang mengajarkan bahwa bangsa dengan segenap kebebasannya bisa memilih sistem yang diinginkannya. Dan ketika umat Islam disuruh memilih, maka mereka tidak akan memilih selain Islam, dan mereka tidak akan mau menerima penggantinya.

Pemilu merupakan karakter utama demokrasi, hingga demokrasi didefinisikan sebagai sistem dimana suatu bangsa menentukan pemerintahnya dengan jalan pemilu. (al-Anshari, 385).

Pendidikan Politik

Pendidikan politik berarti menyiapkan individu muslim agar menjadi warga yang baik di tengah masyarakat muslim, mengetahui kewajiban-kewajibannya lalu menjalankannya dengan kesadaran demi mengharapkan ridha Allah, sebelum menuntut hak-haknya, sebagaimana ia mengetahui hak-hanya lalu berusaha untuk memperolehnya dengan cara-cara yang disyari’atkan.

Pendidikan politik merupakan bagian fondamen dari pendidikan Islam, karena pendidikan Islam merupakan pendidikan yang meliputi individu dan masyarakat. Pendidikan politik para hari ini hukumnya wajib, demi menyiapkan elemen-elemen yang baik bagi terbentuknya masyarakat muslim. Pendidikan politik merupakan pilar utama di antara pilar-pilar pendidikan Islam, karena pendidikan Islam itu meliputi pendidikan spiritual, pendidikan intelektual, pendidikan fisik, pendidikan emosi, pendidikan sosial, pendidikan militer, pendidikan ekonomi, dan lain-lain. Islam adalah agama untuk individu dan masyarakat, dan masyarakat Islam tidak bisa eksis tanpa politik yang Islami. Jadi, pendidikan politik itu menyiapkan warganegara untuk menjalankan urusan-urusan umum dalam lapangan kehidupan, dan membekali mereka agar bisa menjalankan kewajiban-kewajiban mereka, mempertahankan hak-hak mereka. Pendidikan politik dimulai sejak usia dini dan berlangsung sepanjang hidup. (Utsman Abdul Mu’iz, 13)

Semua lembaga pendidikan dalam masyarakat, seperti keluarga, sekolah, forum, media informasi baik cetak maupun elektronik, perguruan tinggi dan perpustakaan umum, harus ambil bagian dalam menyiapkan warga negara muslim secara politis agar tercipta masyarakat muslim.

Di antara ujian yang dihadapi umat Islam hari ini adalah ketakutan mereka terhadap politik, serta jauhnya para ulama dan dai dari ranah politik setelah Machiavelli mendistorsi pemahamannya, dan sesudah kelompok sekuler, anti agama dan musuh-musuh umat Islam itu mengambil kendali politik. Mereka pun melihat negara-negara yang hancur akibat pertikaian di antara partai-partai politik di dalamnya, seperti yang terjadi di Lebanon dua dasawarsa ketujuh dan kedelapan dari abad dua puluh. Mereka mengira bahwa setiap negara akan berani berpolitik itu akan mengalami seperti apa yang dialami Lebanon. Hal ini jauh dari kebenaran. Apa yang terjadi di Lebanon itu karena masyarakat Lebanon tidak memahami politik. Bangsa tersebut dan bangsa-bangsa lain tidak memperoleh pendidikan politik yang menyiapkan warna muslim untuk mendahulukan kewajiban-kewajibannya terhadap masyarakat sebagai bentuk ketaatan terhadap Allah dan mengharapkan ridha-Nya, sebagaimana ia menuntut hak-haknya dengan cara-cara yang disyariatkan.

Konflik antar partai dengan menggunakan senjata merupakan bukti yang kuat akan ketidak-tahuan penduduk negeri tersebut tentang perpolitikan. Karena politik itu bukan militer, tetapi aksi militer itu bermula ketika aktivitas politik gagal. Ketika kita mendapati sebuah konflik bersenjata di suatu negara, maka itu merupakan bukti yang jelas akan kemunduran penduduk negeri tersebut dalam aktivitas politik, dan kebutuhan mereka yang mendesak terhadap pendidikan politik.

Tidak diragukan bahwa negara-negara Eropa Barat khususnya dan Amerika Utara maju dalam bidang politik. Karena itu, kita belum pernah mendengar konflik bersenjata yang berarti di Eropa Barat atau Amerika Utara. Karena pemilihan umum, multi partai, pergantian rezim dan kebebasan berpendapat dan berkeyakinan telah menjadi aksioma yang mengakar kuat di tengan masyarakatnya.

Source: Eramuslim.com

Keluarga Muslim Palestina Dipaksa Masuk Yahudi di Yerusalem!

Selama ini kita hanya mendengar tindakan Kristenisasi yaitu kegiatan yang mengajak umat Islam baik secara halus maupun kasar untuk masuk ke agama Kristen, namun ternyata kegiatan serupa juga dilakukan oleh umat Yahudi di Yerusalem.

Sebuah sumber media mengungkapkan bahwa ekstrimis Yahudi telah memaksa keluarga Palestina di Yerusalem untuk masuk agama Yahudi.

Situs berbahasa ibrani Etrog yang spesialis urusan agama Yahudi mengungkapkan dalam laporannya bahwa organisasi militan ekstrimis Yahudi L'Achim telah memaksa sebuah keluarga Muslim di Yerusalem dengan tindakan Yahudisasi, dengan mengklaim bahwa ibu dari keluarga tersebut adalah aslinya seorang Yahudi dan telah menikah selama 17 tahun dengan seorang warga Palestina Muslim.

Etrog juga menambahkan bahwa persoalan itu berawal sekitar setengah tahun yang lalu, ketika anggota kelompok ekstrimis Yahudi tersebut melakukan penculikan terhadap sebuah keluarga Palestina yang kehilangan ayah mereka karena di tahan oleh militer Israel atas tuduhan melakukan tindakan kriminal.

Situs Etrog mengklaim bahwa organisasi Yahudi ekstrim itu telah memanfaatkan penderitaan kehidupan serta kesulitan yang dialami oleh anggota keluarga, yang terdiri dari ibu dan delapan anak tersebut untuk "memaksa" mereka masuk ke agama Yahudi.

Dijelaskan juga oleh Etrog bahwa semua anggota keluarga Muslim tersebut telah di boyong ke wilayah yang aman di Israel dalam rangka untuk mengendalikan mereka dan dipaksa untuk bekerja di sana.

Para aktivis Yahudi ekstrim menurut situs Etrog - telah mengorganisir sebuah proses cuci otak terhadap anggota keluarga tersebut dengan cara memberikan pendidikan bahasa Ibrani dan kedelapan anak dari keluarga itu di sekolahkan di sebuah sekolah seminari Yahudi untuk mengajarkan mereka prinsip-prinsip dasar agama Yahudi. Situs Etrog mencatat bahwa proses yahudisasi itu dimulai pada putra pertama dari keluarga itu yang bernama Yusuf di salah satu restoran terkenal Israel.

Situs Etrog juga mengutip pernyataan Rabbi Alex Ortovsky yang melakukan ritual Yahudisasi terhadap Yusuf yang masih muda dan mengatakan: "Upacara ini sangat menarik dan memperlihatkan adanya keinginan yang kuat Yusuf dan keluarganya untuk memeluk agama Yahudi dan kami mengucapkan syukur keluarga tersebut telah "diselamatkan" oleh organisasi L'Achim dalam kehidupan baru yang lebih bahagai" klaim dari Rabbi Alex.

Rabbi Alex menyatakan bahwa sebenarnya orangtua dari ibu kedelapan anak Muslim itu asalnya adalah Yahudi yang selamat dalam peristiwa holocaust pada tahun 1940-an, namun putrinya menikah dengan seorang Palestina dan kemudian pindah ke kota Tua Yerusalem Timur.

Rabbi ALex menambahkan juga bahwa kedelapan anak-anak yang menghadiri prosesi ritual Yahudisasi tersebut merasa sangat bahagia, begitu klaim dari sang rabbi Yahudi.

Perlu dicatat bahwa baru-baru ini juga telah ada usaha-usaha yang kuat dari organisasi-organisasi Yahudi untuk melakukan Yahudisasi di Palestina khususnya di wilayah Yerusalem.(fq/imo)

Source: Eramuslim.com

Hukum Allah dan Sifat Kafir, Fasik, Zhalim

Dari ERAMUSLIM.COM
bersama Ustadz Sigit Pranowo, Lc.

Berhukum dengan selain yang diturunkan Allah swt bukanlah terbatas hanya untuk para hakim akan tetapi mencakup seluruh manusia yang menghukum (mengadili) terhadap perkara apa pun dengan selain yang diturunkan Allah swt, baik fatwa, putusan pengadilan atau lainnya seperti terhadap orang yang meminum khamr lalu dia mengatakan bahwa ini halal atau terhadap orang yang melakukan praktek riba lalu dia mengatakan ini halal, dan lainnya.

Apabila hukum terhadap orang yang tidak mengadili dengan apa yang diturunkan Allah adalah kafir atau zhalim atau fasiq maka ini adalah hukum yang tepat karena kefasikan adalah keluar dari apa yang disyariatkan, kezhaliman adalah melampaui batas yang telah disyariatkan sedangkan kekufuran adalah tidak mengimaninya.

Sesungguhnya pendapat sebagian mufasir bahwa menghukum dengan kafir adalah terhadap orang yang mengingkari hukum Allah atau menghinakannya, ini seperti pada ayat pertama berupa penolakan orang-orang Yahudi terhadap hukum Allah swt yang ada didalam taurat.

إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُواْ لِلَّذِينَ هَادُواْ وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأَحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُواْ مِن كِتَابِ اللّهِ وَكَانُواْ عَلَيْهِ شُهَدَاء فَلاَ تَخْشَوُاْ النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلاَ تَشْتَرُواْ بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلاً وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ

Artinya : “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir.” (QS. Al maidah : 44)

Dan menghukum dengan zhalim adalah terhadap mereka yang melanggar hukum qishash yang disebutkan didalam ayatnya :

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأَنفَ بِالأَنفِ وَالأُذُنَ بِالأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَن تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَّهُ وَمَن لَّمْ يَحْكُم بِمَا أنزَلَ اللّهُ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ


Artinya : “Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Maidah : 45) Didalam ayat itu jelas disebutkan kezhaliman.

Sedangkan menghukum fasiq orang-orang yang memiliki kitab injil itu mencakup kekufuran karena mengingkari hukum Allah dan mencakup juga kezhaliman karena melampaui batas.

Namun demikian, sesungguhnya para ahli tafsir telah banyak memberikan pendapatnya dan pendapat mereka semua bermuara kepada bahwa pengingkaran terhadap hukum Allah atau penghinaan terhadapnya adalah kufur dan jika tidak mengingkari atau menghinakannya tetapi melampaui batas atau kurang didalam penerapannya maka hal itu bukanlah kekufuran akan tetapi ia adalah kezhaliman dan kefasikan.

Maka tidaklah dibenarkan untuk bersegera menghukum dengan kafir terhadap yang tidak menerapkan syariah Allah swt baik terhadap seseorang, jama’ah atau negara kecuali jika mereka meninggalkan hukum Allah dikarenakan pengingakaran atau penghinaan terhadapnya.

Permasalahan seperti ini pada umumnya adalah permasalahan yang tersembunyi dan tidak tampak secara jelas dan jika pun tampak secara jelas yang tidak memungkinkan adanya suatu tawil lain maka dibolehkan menghukumnya dengan kafir. Jika hal tersebut tidak diketahui dengan suatu keyakinan maka wajib baginya untuk tidak menghukumnya dengan kekafiran berdasarkan sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang mengatakan kepada saudaranya.’Wahai Kafir’ maka hal itu akan kembali diantara mereka berdua. Bisa (kekafiran) itu menimpa dia (orang yang dituduh) dan jika tidak maka (kekafiran) itu akan kembali kepada dirinya (orang yang menuduh).” (HR. Muslim)

Berikut beberapa pendapat para mufasir klasik dan kontemporer.. :

Al Fakhrurozi (wafat 606 H) menyebutkan lima jawaban, diantaranya adalah apa yang dikatakan oleh Ikrimah, yaitu : bahwa hukum kafir adalah untuk orang yang mengkufuri dan mengingkari. Adapun seorang mukmin yang menghukum dengan hukum Allah akan tetapi orang itu melanggarnya maka ia telah berbuat maksiat. Dia mengatakan bahwa kufur adalah mengurangi hak Allah swt sedangkan zhalim adalah mengurangi hak jiwa.

Al Baidhowi (wafat. 685 H) menyebutkan bahwa kekufuran mereka adalah karena pengingkaran mereka, kezhaliman mereka adalah karena menghukum dengan menyalahinya sedangkan kefasikan mereka adalah karena keluar darinya.

Az Zamakhsyari (wafat 528 H) mengatakan bahwa barangsiapa yang mengingkari hukum Allah adalah kafir, barangsiapa yang tidak menghukum dengannya sedangkan dirinya meyakini—hukum tersebut—maka ia adalah zhalim fasik.

Al Alusiy (wafat 1270 H) mengatakan bahwa bisa jadi disifatkannya mereka dengan tiga sifat yang berbeda-beda itu adalah bahwa barangsiapa yang mengingkarinya maka mereka disifatkan dengan orang-orang kafir, jika mereka meletakkan hukum Allah bukan pada tempat yang sebenarnya maka mereka disifatkan dengan orang-orang zhalim sedangkan jika mereka keluar dari kebenaran maka mereka disifatkan dengan orang-orang fasiq. (Fatawa al Azhar juz VIII hal 2)

Wallahu A’lam

Guardian: CIA Ikut Menyiksa Anggota Hamas di Tepi Barat

Surat kabar Inggris The Guardian dalam laporannya mengungkapkan adanya keterlibatan Inggris dan CIA dalam membantu petugas keamanan Otoritas Palestina dalam mempraktikkan penyiksaan terhadap para pendukung gerakan perlawanan Islam Hamas di Tepi Barat.

The Guardian menyatakan mereka mengetahui bahwa para perwira CIA telah berkoordinasi dengan petugas keamanan Palestina dalam keterlibatan melakukan penyiksaan, meskipun kurang dari satu tahun telah ditandatanganinya peraturan oleh Presiden Barack Obama yang melarang penyiksaan dan melakukan tindakan melawan hukum dalam proses interogasi.

Surat kabar itu menambahkan: "Hubungan antara CIA dan Dinas Keamanan Preventif dan Intelijen Umum otoritas Palestina, digambarkan oleh diplomat Barat sebagai salah satu titik kedekatan antara petugas CIA yang mengawasi kerja kedua lembaga milik pemerintahan Abbas tersebut."

Pejabat senior Barat mengatakan bahwa CIA mempunyai peranan penting terhadap lembaga keamanan otoritas Palestina dan pengaruh Amerika di kedua lembaga itu adalah dengan menjadikannya tangan kanan CIA untuk memerangi apa yang disebut oleh Washington sebagai "terorisme".

Baik Amerika Serikat maupun otoritas Palestina mengakui bahwa mereka bekerja sama dengan erat di Tepi Barat, namun organisasi kemanusiaan juga mempertanyakan apakah Amerika Serikat menutup mata terhadap penyiksaan yang dilakukan oleh agen-agennya di negara-negara yang mereka bekerja sama?

The Guardian mengungkapkan bahwa sekitar 400-500 pendukung Hamas yang sedang ditahan oleh badan Keamanan dan Intelijen Umum Palestina. (fq/imo)

Source: ERAMUSLIM.COM

Al-Quran Mengajarkan Perubahan

Oleh: DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris*

AL-QUR’AN MENGAJARKAN PERUBAHAN

Allah ‘Azza wa Jalla berbicara kepada kita tentang perubahan dalam dua surat, yaitu surat Al-Anfal dan Ar-Ra’d. Di dalam surat Al-Anfal Allah berfirman:

“Demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada sesuatu kaum, hingga kaum itu merubah apa yang ada pada diri mereka sendiri dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS Al-Anfal [8]: 53)

Dan di dalam surat Ar-Ra’d Allah berfirman,

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.” (QS Ar-Ra’d [13]: 11)

Kaidah-Kaidah Perubahan:

Kedua ayat mulia tersebut mengandung beberapa kaidah penting dalam mengadakan perubahan, yaitu:

Kaidah pertama:

Perubahan merupakan hukum general yang meliputi semua jenis dan ras manusia, baik mukmin atau kafir. Hal itu ditunjukkan dengan kata قَوْمٌ yang berbentuk nakirah (indefinitif). Kata ini termasuk kata mutlak dan ia tetap bermakna mutlak selama Syari’ tidak membatasinya dengan suatu sifat seperti iman dan selainnya.

Karena itu, maknanya tetap mencakup setiap kelompok, organisasi, masyarakat, atau negara, tanpa memandang agamanya. Ia juga mencakup setiap ruang danw aktu. Hal itu karena lafazh tersebut mencakup setiap masyarakat di masa lalu, masa kini dan masa depan, sebagaimana ia mencakup setiap negara di dunia.

Jadi, Allah telah menetapkan berbagai sunnah dalam kehidupan dan meletakkan faktor penyebab dan undang-undang di alam semesta dan kehidupan insani. Sunnah, faktor penyebab dan undang-undang ini menimbulkan akibat-akibatnya dan mendatangkan buahnya berdasarkan pengaruh dari Allah Tabaraka wa Ta’ala.

Allah telah menganjurkan umat manusia ini untuk mencari faktor penyebab, undang-undang dan hukum, supaya mereka dapat mengikuti petunjuknya dan berbuat menurutnya, agar mereka memperoleh buahnya. Allah menundukkan faktor penyebab, undang-undang dan hukum itu untuk kebahagiaan manusia dan untuk melayaninya di dunia.

Bekerja adalah sarana untuk mencari rezki. Tidak ada yang bisa dilakukan manusia selain serius dan bersungguh-sungguh dalam mencari rezkinya dengan mengerahkan seluruh tenaga dan potensinya. Baik rezki itu bersifat materi atau immateri, atau kedua-duanya.

Petani membajak tanah dan menabur benih, kemudian ia menunggu rezki dari Rabb. Seandainya ada seseorang berdiam diri di rumahnya tanpa mengerahkan tenaga sedikit pun untuk bercocok tanam, lalu ia mengira bahwa rezkinya akan datang dari pertanian, padahal ia tidak membajak, tidak menabur benih dan tidak memupuk tanah, maak dia akan kecewa dan tertinggal dari bahtera kehidupan insani. Bahkan ia dianggap berdosa karena menolak melakukan sebab, sunnah dan undang-undang.

Demikian pula para da‘i yang mencita-citakan perubahan itu harus mengerahkan segenap tenaga dan mencurahkan segenap potensi, ide, harta benda, jiwa dan hal-hal yang berharga untuk mencapai tujuan-tujuan yang mereka canangkan.

Kaidah kedua:

Perubahan yang berdampak dan dituntut dalam konsep Islam adalah perubahan kolektif yang mencakup mayoritas lingkungan sosial. Adapun perubahan individual bukan yang dimaksud di sini. Karena terkadang satu individu dapat mengubah dirinya dengan memperbaiki hubungannya dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hubungannya dengan orang lain.

Tetapi, perubahan ini tidak menghasilkan perubahan umum. Dan terkadang beberapa individu di tengah masyarakat berhasil mengubah diri mereka dengan memperbaiki diri dan memperat hubungan mereka dengan Allah, Rabb mereka, tetapi perubahan ini tidak cukup untuk mengubah masyarakat secara menyeluruh, fundamental dan mencakup semua aspek kehidupan sosial, politik, ekonomi, moral, hukum dan lain-lain.

Kaidah ini tersimpulkan dari kata قَوْمٌ pada ayat di atas. Karena kata ini berarti sekumpulan manusia, baik laki-laki atau perempuan.

Kaidah ketiga:

Perubahan itu ada kalanya positif dan ada kalanya negatif. Karena perubahan itu berarti beralih dari satu kondisi ke kondisi lain dan berpindah dari seti tempat ke tempat lain. Dengan demikian, ada kalannya perubahan diri itu bersifat positif, yaitu perubahan dari jelek menjadi baik, atau dari baik menjadi lebih baik, sehingga hasilnya pun positif.

Dan ada kalanya perubahan itu bersifat negatif, dimana manusia mengubah diri dari lebih baik menjadi baik, sehingga hasilnya adalah baik dan terkadang manusia mengubah diri dari baik menjadi jelek, sehingga kondisi mereka menjadi jelek.

Kami menyimpulkan kaidah ini dari firman Allah, “Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.” (QS Ar-Ra’d [13]: 11)

Jadi, seperti yang kita tahu, perubahan adalah peralihan dari satu kondisi ke kondisi lain, dari satu tatanan ke tatanan lain, dari sati sifat ke sifat lain, baik positif atau negatif.

Bukti-Bukti Empirik

Kaidah-kaidah ini memiliki bukti-bukti empirik yang dari kehidupan berbagai bangsa dan masyarakat di sepanjang zaman, dengan kondisi dan situasi yang berbeda-beda, baik di masa lalu atau masa kini, baik yang mukmin atau yang kafir.

Bukti empirik pertama mengenai ayat yang berbicara tentang perubahan dalam surat Al-Anfal adalah yang terkait dengan suatu kaum yang kafir, yaitu kaumnya Fir’aun dan generasi sebelum mereka.

Ketika mereka mengubah kondisi mereka menjadi tidak menyukuri nikmat yang dikaruniakan Allah pada mereka dan membalasnya dengan sikap keras kepala, maka Allah menghukum mereka dengan menghentikan turunnya nikmat pada mereka dan menghancurkan apa yang dibuat oleh Fir’an dan kaumnya.

Tetapi, penulis akan mengambil dua bukti empirik yang terjadi setelah kenabian Muhammad Saw.

Bukti empirik pertama:

Bukti empirik ini kembali kepada empat belas abad silam, ketika bangsa Arab terdiri dari kabilah-kabilah yang bersengketa. Satu kabilah menyerang kabilah lain, menawan kaum perempuan dan keluarga, serta membunuh kaum laki-laki atau menawannya.

Bangsa Arab waktu itu berada dalam kondisi terbelakang dan jatuh dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Apabila jika mereka dibandingkan dengan negara Persia dan Romawi di semua bidang. Dalam bidang politik, ada sebagian bangsa Arab tunduk kepada Persia dan sebagian yang lain tunduk kepada Romawi.

Dalam bidang sosial, tradisi mengubur anak perempuan hidup-hidup telah mewarnai mayoritas kabilah. Penyakit sosial seperti perzinahan dan pernikahan istibdha’ (hanya untuk seksual) telah mewabah.

Perempuan dianggap sebagai benda yang bisa diperebutkan kerabat laki-lakinya, meskipun mereka adalah anaknya. Siapa yang lebih dahulu menaruh mantelnya di atas tubuh perempuan yang ditinggal mati suaminya, maka perempuan itu menjadi miliknya.

Ia bebas menikahinya meskipun ia adalah mantan istri bapaknya, atau menikahkannya dengan laki-laki lain dan mengambil maharnya.

Di bidang ekonomi, riba telah menjadi praktik umum. Padahal riba itu dapat mengakibatkan kekayaan terpusat pada segelintir orang, sedangkan mayoritasnya dalam keadaan miskin. Mereka menjadi korban ketamakan rentener dan perilakunya yang tak manusiawi. Karena debitur dapat menarik harta benda kreditur jika tidak sanggup melunasi hutangnya.

Apabila kabilah-kabilah Arab atau sebagiannya mengalami kelaparan, maka mereka keluar untuk merampok Persia dan Romawi. Dan di bidang akhlak dan ibadah, di zaman itu Allah memandang seluruh penduduk bumi dengan pandangan murka, kecuali sebagian kecil dari Ahli Kitab.

Dalam bidang peradaban, baik pemikiran atau materi, bangsa Arab tidak memiliki pemikiran cemerlang yang dapat mereka persembahkan kepada umat manusia, sebuah inovasi atau penemuan ilmiah.

Mereka adalah bangsa yang illateral. Sedemikian jauh peradaban mereka tertinggal hingga satu individu tidak dapat membedakan antara masjid dan kamar mandi. Saat itu banyak orang yang berdiri tanpa malu dan sungkan untuk kencing di dalam masjid.

Keterbelakangan dan kemunduran ini dapat Anda temukan buktinya dari kesaksian orang-orang yang pernah mengalami masa jahiliyah seperti Ja’far bin Abu Thalib ketika berbicara kepada raja Najasyi. Ia berkata, “Raja, dahulu kami adalah kaum jahiliyah yang menyembah berhala, makan bangkai, melakukan perbuatan mesum, memutus silaturahim dan berbuat jahat kepada tetangga.”

Juga seperti kesaksian ‘Aisyah RA ketika menggambarkan pernikahan di masa jahiliyah, bahwa ia memiliki empat macam; tiga di antaranya merupakan bentuk-bentuk zina. Pertama, nikah istibdha’, yaitu ketika seorang suami melihat kebangsawanan pada diri orang lain, lalu suami tersebut mengirimkan istrinya agar disetubuhi orang itu.

Jika istrinya melahirkan seorang anak, maka nasabnya dikaitkan dengan suami. Seperti seseorang yang mengirimkan kuda betinanya kepada kuda jantan tetangganya agar keturunannya menjadi unggul. Kedua, nikah rahthun, yaitu seorang perempuan digauli oleh beberapa orang laki-laki layaknya seperti suami.

Jika perempuan itu melahirkan seorang anak, maka ia memanggil semua laki-laki yang menggaulinya. Semuanya harus datang. Lalu perempuan itu menasabkan anaknya kepada salah seorang laki-laki tersebut.

Ketiga, nikah rayat, yaitu seorang perempuan digauli oleh beberapa orang laki-laki layaknya seperti suami. Jika perempuan itu melahirkan anak, maka ia memanggil semua laki-laki itu dan memanggil seorang juru sidik nasab, lalu anak itu dinasabkan kepada salah seorang di antara mereka menurut kemiripan antara anak dengan laki-laki tersebut.

Rasulullah Saw. diutus saat bangsa Arab dalam kondisi terbelakang, jatuh dan bejat seperti ini. Lalu Rasulullah Saw. berbicara kepada mereka tentang agama ini, mengajak mereka untuk beriman kepada Allah dan tunduk kepada-Nya dengan mengesakan-Nya, patuh dan taat kepada-Nya dan meninggalkan syirik. Lalu mereka beriman kepada Rasulullah Saw., mengikuti cahaya yang diturunkan kepadanya dan berjuang bersamanya. Karena itu, Allah pun mengubah keadaan mereka dan mengentaskan mereka dari kubangan syahwat dan tempat sampah menuju puncak kejayaan yang tinggi. Allah memindah mereka dengan peralihan yang jauh dan cepat. Mereka pun menjadi pemimpin umat manusia yang membawa pelita hidayah. Semua orang mencari simpati mereka dan berambisi untuk mendapatkan kedudukan di hadapan mereka.

Dahulu mereka mati, lalu Allah menghidupkan mereka di segala bidang kemanusiaan. Allah berfirman,

“Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar daripadanya?” (QS Al-An’am [6]: 122)

Mereka telah menyinari hati dengan iman, memakmurkan jiwa dengan tauhid, membahagiakan banyak orang dengan agama ini selama berabad-abad. Hal itu berlangsung hingga permulaan abad 20 Masehi, atau pertengahan abad 14 Hijriah. Ketika mereka telah mengubah dan mengganti, meninggalkan Kitab Rabb mereka, membuangnya ke belakang punggung, ketika moral jahiliyah telah mewabah di tengah mereka, ketika mereka menerapkan hukum yang tidak diridhai Allah, Rasul-Nya dan orang-orang mukmin yang shalih. Lalu, apa yang terjadi sesudah itu? Kondisi mereka memberi Anda jawaban yang sebenarnya, seperti yang Anda lihat dan dengar.

Keterbelakangan dan kemunduran itulah jawabannya. Mereka kembali berada di ekor kafilah. Mereka mengharapkan kemuliaan dari musuh-musuh mereka. Satu kelompok loyal ke Timur dan kelompok lain loyal ke Barat.

Sungguh, Allah tidak mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah kepada diri mereka sendiri.

Umat Islam pernah mengubah diri dari jelek menjadi baik di masa lalu, lalu Allah mengubah kondisi mereka menjadi baik. Sesudah itu, mereka mengubah diri dari yang terbaik menjadi yang terjelek, lalu Allah pun mengubah kondisi mereka menjadi jelek. Perubahan pada dua kondisi itu telah terjadi di masa lalu dan masa sekarang, positif dan negatifnya, sehingga buahnya pun dipetik.

Bukti empirik kedua dari masa kini:

Sejarah menuturkan kepada kita bahwa Amerika dahulu adalah salah satu wilayah jajahan Inggris. Emperium Inggris saat itu tidak sudah mencapai puncak kejayaannya. Tetapi ketika bangsa Amerika bertekad untuk merdeka dan mengubah mental terjajah dan inferior dalam diri mereka, maka Allah pun mengubah keadaan mereka. Akhirnya mereka memperoleh kemerdekaan. Bangsa Amerika terus menaiki tangga perubahan sampai menjadi salah satu negara terbesar di dunia, jika memang bukan yang terbesar. Setelah itu Inggris menjadi pengikut Amerika. Banyak negara dunia yang mencari simpati Amerika dan berusaha memperoleh kedudukan yang baik di mata Amerika, terlebih negara tempat kita tinggal ini.

Penulis berharap pembaca tidak keliru memahami bahwa penulis sedang memuji Amerika dan mencela Inggris. Karena masing-masing adalah negara kafir yang memusuhi Islam. Kami tidak menaruh rasa cinta atau hormat kepada keduanya. Sebaliknya, kami membencinya sebagaimana kami membenci setiap negara kafir. Kami memiliki perhitungan sendiri dengan mereka pada saat kami telah mengubah apa yang ada dalam diri kami.

Yang penulis maksud hanyalah mengajukan bukti empiris mengenai kaidah-kaidah perubahan. Karena orang kafir pund apat mengubah keadaannya menjadi lebih baik sehingga keadaan pun menjadi baik dan mengubahnya menjadi lebih jelek sehingga keadaannya menjadi jelek. Ini merupakan hukum umum yang mencakup semua manusia.(bersambung)

*) DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris

DR. Muhammad Abdul Qadir Abu Faris adalah anggota Parlemen Jordania. Berasal dari desa Falujah, Palestina yang diduduki Israel 1949. Lahir tahun 1940. Menjadi Anggota Parlemen Jordania pada tahun 1989, kemudian terpilih kembali pada tahun 2003. Sempat dicabut keanggotaannya sebagai anggota parlemen Jordania karena melayat saat terbunuhnya Az-Zarkawi, pimpinan Al-Qaedah di Irak, kemudian dipenjara selama 2 tahun dan dibebaskan berdasarkan surat perintah Raja Abdullah II bersama temannya sesama anggota perlemen Ali Abu Sakr.

DR Abu Faris aktivis Gerakan Dakwah di Jordania. Meraih gelar doktor dalam bidang Assiyasah Assyar’iyyah (Politik Islam). Kepala bidang Studi Fiqih dan Perundang-Undangan di Fakultas Syari’ah Universitas Jordania. Beliau juga Professor pada Fakultas Syari’ah pada universitas tersebut. Di samping itu, beliau juga Direktur Majlis Tsaqofah Wattarbiyah pada Lembaga Markaz Islami Al-Khairiyah. Mantan Anggota Maktab Tanfizi Ikhwanul Muslimin, Anggota Majlis Syura Ikhwanul Mislimin dan Partai Ikhwan di Jordania.

Beliau terkenal dengan ketegasannya, ceramah-ceramah yang dahsyat di Masjid Shuwailih, kota Oman. Beliau memiliki lebih dari 30 karya buku terkait Hukum Islam, Siroh Nabawiyah, Politik Islam, Gerakan Islam. Syekh DR. Abu Faris memiliki ilmu syari’ah yang mendalam sehingga menyebabkan Beliau pantas mengeluarkan fatwa-fatwa syar’iyah. Beliau juga sangat terkenal kemampuan penguasaan pemahaman Al-Qur’an dan tafsirnya.

source: Eramuslim.com

Memaknai Rabithah

assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...
kawan...
penulis yakin dan percaya bahwa kawan-kawan sekalian sangat paham mengenai makna sebuah do'a...
tapi izinkanlah kali ini penulis coba berbagi tentang apa yang penulis ketahui tentang sebuah do'a, sebuah do'a yang telah merubah kepribadian penulis...
dari kepribadian yang bisa dibilang tak beradab hingga menjadi lebih baik seperti sekarang (yang gak kenal penulis rugi banget.../*Pe De mode: ON).

Kawan, rabithah adalah sebuah do'a yang terdapat pada akhir runtunan panjang al-ma'tsurat qubra maupun shugra, mungkin di antara kawan-kawan pembaca telah menjadikannya sebagai rutinitas kawan-kawan. Namun pernahkah kawan-kawan memaknainya? atau minimal membaca artinya?
"Yaa Allah, sesungguhnya Engkau maha mengetahui bahwa hati-hati ini telah berkumpul untuk mencurahkan mahabbah hanya kepada-Mu, bertemu dalam keta'atan pada-Mu, bersatu dalam rangka menyeru (di jalan)-Mu, dan berjanji setia untuk membela syari'at-Mu, maka kuatkanlah ikatannya...Yaa allah, abadikanlah kasih sayangnya, tujukilah jalan-jalannya, dan penuhilah dengan cahaya-Mu yang tidak akan pernah padam. lapangkanlah dadanya dengan limpahan aman dan keindahan tawakkal pada-Mu, hidupkanlah dengan ma'rifat-Mu, dan matikanlah dalam keadaan syahid di jalan-Mu. Sesungguhnya Engkau sebaik-baik pelindung dan pembela. Amin. Dan Sholawat serta salam selalu tercurahkan kepada Muhammad SAW, kepada keluarganya, dan kepada sahabat-sahabatnya...."

hmmm, kawan, sangat rugi bila kita tak mengetahui artinya saat kita membaca do'a ini.
karena melalui Rabithah ini kita bisa menyelesaikan perselisihan dengan saudara kita, bisa melembutkan hati-hati kita, dan bisa mempererat ukhuwah di antara kita.
bukankah Rasul mulia pernah bersabda:"belum dikatakan beriman seseorang sebelum ia mencintai saudaranya seperti ia mencintai dirinya sendiri..".
kawan, manalah mungkin kita bisa mencintai saudara kita seiman bila hati kita tidaklah terpaut dengannya (mereka).
keterikatan hati ini bisa kita peroleh melalui do'a rabithah, bayangkan wajah saudara kita tadi (ingat, ini bukan do'a buat cari jodoh loh....).
penulis berani mengatakan di rubrik umum seperti ini pastilah karena penulis telah mencoba dan membuktikan dahsyatnya do'a rabithah (sebenarnya yang namanya do'a apapun bentuknya mah dahsyat asal sungguh-sungguh berharap pada-Nya, tapi lebih dahsyat lagi bila do'a tersebut ada petunjuknya).

pernah sekali waktu penulis merindkan seorang al-akh yang sudah lama tak berkomunikasi (karena jarak, kesibukan, dan pastinya nomor HP yang berganti), penulis ingat akan sebuah pesan ustadz, kalo Rabithah itu pengikat hati (sekali lagi penulis ingatkan, Rabithah bukan do'a buat minta jodoh !!), lalu penulis baca dengan membayangkan wajah al-akh tersebut dengan penuh pengharapan.
Setelah itu penulis berserah diri pada Allah...
Luar biasa, tak berapa lama (kalo gak salah gak sampai hitungan jam), ada sebuah telpon masuk, dan, wow...ternyata dari al-akh yang penulis rindukan.
dan luar biasa lagi, kejadian yang sama telah beberapa kali penulis alami.

apa cuma itu yang pernah penulis alami?
gak !
banyak lagi yang lainnya, mungkin pada kesempatan ini penulis ingin certia sebuah pengalaman lagi (jiahh, lagi-lagi penulis cerita, jangan ngantuk ya...)
waktu itu penulis sedang kesal dengan sikap salah seorang al-akh, sikapnya begitu arogan dan seperti memahami semua hal (hmm,sikap ini juga masih sering muncul pada diri penulis..hihihiii...), kesal, itulah yang ada di hati penulis. Lalu penulis coba untuk sedikit tenang dan sholat, setelah sholat, penulis baca do'a rabithah, dan membayangkan wajahnya.
Subhanallah, semua pesan yang tadinya membuat penulis kesal, semua perkataan yang membuat penulis dongkol, dan semua sikap yang buat penulis eneg berubah. apa tulisannya berubah?atau perkataan yang telah terucap?atau sikap yang tela terbuat?
TIDAK !!
yang berubah adalah cara penulis menilainya, akhirnya semua tadi terasa indah, semua terlihat senagaitanda cinta dan perhatian al-akh terhadap penulis...
luar biasa, ba'da itu, penulis komunikasi lagi denga beliau, bisssss (ini improvisasi,bagaikan semak habis terbakar, masih ada api sedikit lalu disiram dengan air, bayangin ya kawan...hihiii :D), rasanya sangat nyaman, ia minta maaf....dan komunikasi itupun menjadi sangat indah....

kawan, setelah semua yang penulis sampaikan tadi, tidaklah ada maknanya bila kawan-kawan sekalian tak melakukannya, apa lagi tak membacanya dengan lapang dada.

penulis sadari dalam penulisan terdapat banyak kelemahan dan kekurangan, oleh karena itu penulis harapkan bimbingan dan kritikan yang membangun dari kawan-kawan...

akhirulkalam...
billahi taufiq walhidayah...
assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh...

kunjungi juga:
http://urang-piliang.mofuse.mobi/


jazaakumullahu khairan...