Sudikah kita menurunkan 20 atau 30 poin? (copas dari pesan masyarakat tarbiyah)

Kendatipun Rasulullah s.a.w. menganjurkan Jabir menikahi gadis, ternyata kita tahu hampir seluruh istri Rasulullah s.a.w. adalah janda.

Kendati Rasulullah menyarankan Jabir agar beristri gadis, pada kenyataannya Jabir telah menikahi janda.

Demikian pula permintaan mahar Ummu Sulaim terhadap lelaki yang datang melamarnya, Abu Thalhah. Asalkan Abu Thalhah masuk Islam dan beriman, hal itu cukup sebagai mahar. Ummu Sulaim tidak berpikir yang lain. Inilah pilihan dakwah. Inilah pernikahan barakah, membawa mashlahat bagi dakwah.

Lain lagi pikiran “aneh” seorang mukmin dari kaum anshor, Sa’ad bin Rabi’ Al Anshory. Dia tawarkan kepada saudaranya dari muhajirin, Abdurrahman bin ‘Auf, katanya, “Saya memiliki dua istri sedang engkau tidak memiliki istri. Pilihalah seorang di antara mereka yang engkau suka, sebutkan nama yang engkau pilih, akan saya ceraikan dia untuk engkau nikahi. Kalau iddahnya sudah selesai, maka nikahilah dia” (HR Bukhari).

Sa’ad tidak memiliki maksud apa-apa selain memikirkan kondisi saudaranya seiman yang belum memiliki istri. Keinginan berbuat baiknya itulah yang sampai memunculkan ide aneh tersebut. Sebagaimana kita pahami, Abdurrahman dan kaum muhajirin secara umum, mereka hijrah meninggalkan kampung halaman (Mekah), serta seluruh keluarga mereka yang masih kafir dan juga seluruh harta benda. Mereka datang di Madinah hanya dengan baju yang melekat di badan. Tidak ada sanak famili, tidak ada rumah dan harta. (Dengan perbandingan yang sedikit berbeda, bayangkan diri kita kehilangan seluruh anggota keluarga dan seluruh harta benda kemudian mengungsi di daerah yang jauh dan asing yang belum pernah kita datangi dan tidak ada sanak familipun).

Ini hanya beberapa contoh, bahwa dalam konteks pernikahan, alangkah baiknya jika dikaitkan dengan kehidupan berjamaah dan proyek besar dakwah Islam. Jika kecantikan gadis yang diharapkan bernilai 100 poin, tak bersediakah seseorang muslim menurunkan 20 atau 30 poin untuk bisa mendapatkan kebaikan dari segi yang lain? Ketika pilihan itu membawa mashlahat bagi diri, keluarga dan dakwah?

Jika gadis yang diharapkan berusia 20 tahun, tidakkah bisa sedikit toleransi dengan melihat kepada para muslimah yang lebih mendesak untuk segera menikah dikarenakan desakan usia?

Jika kita seorang wanita muda usia, dan ditanya – dalam konteks pernikahan – oleh seorang laki-laki yang sesuai kriteria harapan kita, mampukah kita mengatakan kepada pria tersebut (dengan logika dakwah), “Saya memang telah siap menikah, akan tetapi mbak ini, ukhti ini, sahabat saya, lebih mendesak untuk segera menikah”.

Atau kita telah bersepakat untuk tidak mau melihat realitas itu, karena bukan tanggung jawab kita? Ini urusan masing-masing. Keberuntungan dan ketidakberuntungan adalah soal takdir yang tidak berada di tangan kita. Masya Allah, seribu dalil bisa kita gunakan untuk membenarkan pikiran individualistik kita, akan tetapi hendaknya kita ingat pesan kenabian:

“Perumpamaan orang-orang mukmin dalam cinta, kasih sayang dan kelembutan hati mereka adalah seperti satu tubuh. Apabila satu anggota tubuh menderita sakit, terasakanlah sakit tersebut di seluruh tubuh, hingga tidak bisa tidur dan panas” (HR Bukhari – Muslim)

[Maraji’: Cahyadi Takariawan, Di Jalan Dakwah Aku Menikah]

0 komentar:

Posting Komentar