Lelaki Sejati : Talk Less Do More

oleh Fiyan Arjun
Minggu, 29/11/2009 07:37 WIB
Cetak | Kirim | RSS
Lelaki sejati ialah lelaki yang bisa menerima dan melawan rasa kecewa karena sakit hati.

Begitu kata kawan saya melalui pesan singkatnya di handphone saya. Entah kenapa ia bisa mengirimkan kata-kata itu membuat saya tergerak untuk membacanya...Hmm, ternyata boleh juga. Namun lebih boleh juga LAGI kalau kata-kata itu BISA mewakili diri saya. Namun ini tidak! Jauh dari pandangan saya tentang pengertian hal tersebut.

Namun tidak sampai disitu. Jalan di tempat saja. Saya tetap berusaha mencari tahu kebenaran pengertian yang dimaksudkan oleh kawan saya itu. Apakah seperti itu? Atau, hanya mengungkapkan egonya sendiri! Atau, jangan-jangan mungkin curhat colongan pula! Entahlah, tapi dengan pesan singkat itu membuat saya tergelitik untuk berusaha mencari pengertian sesungguhnya tentang lelaki sejati itu seperti apa.

Mbah Google. Ya, dia-lah dewa penolong untuk membantu saya—hingga saya mendapatkan berpuluh-puluh pengertian tentang lelaki sejati itu. Saya browsing dengan mengklik search dengan memakai juru kunci sebagai pembuka kata; lelaki sejati. Klik. Semua ada di depan mata minus saya. Namun sayangnya ternyata tak ada satu pun yang sreg dengan saya. Walau ada itu pun hanya segelintir yang bisa mewakili diri saya—dan ada pula yang menyesatkan. Tetapi secara benang merah tak ada secara spesifik menjelaskan apa pengertian lelaki sejati itu. Lagi-lagi itu membuat saya penasaran untuk mencari kembali lagi. Dan hasilnya tetap nihil!

”Lelaki sejati itu sih menurut gue yang bisa bikin anak!” celetuk kawan saya dari arah belakang ketika saya sedang asyik berselancar dengan Mbah Google. Dan jelas saya yang sedang asyik mencari lelaki sejati bersama Mbah Google saat itu jadi tercuri perhatian dengan celetukan kawan saya itu.

Begitu katanya. Spontanitas! Tanpa tendeng aling-aling.

Saya yang mendengar perkataan seperti itu langsung tersenyum kecut. Apalagi itu keluar di bibir hitam kawan saya yang dikarenakan pengaruh nikotin yang lama mengendap di bibirnya itu. Hingga akhirnya dengan terpaksa saya tolehkan kepala ke arahnya walau saat itu saya masih berdiam diri mematuti layar komputer.

Ya, kawan saya itu adalah penjaga warnet—dan saya juga sudah hafal dengan watak dan karakternya yang kalau bicara asal goblek dan suka berguyon ngasal pula. Dan warnet yang ia tunggu juga merupakan langganan saya pula—yang terdekat dari rumah jika saya tidak menggunakan hotspot secara gretongan di kampus tetangga sebelah. Memang orangnya yang saya kenal seperti itulah hingga saya berpikir untuk menjawab seperti khasnya pula. Tak ada saling menggurui!

”Itu sih lelaki sejati yang hanya memandang dari soal hasrat aja! Cuman pikirannya—maaf—ngesek melulu,” jawab saya singkat. Dan itu membuat ia tersenyum simpul malu dengan apa yang saya katakan.

Lalu apakah saya tidak membenarkan ucapan kawan saya itu? Tidak! Saya tak menghargai hasil pikirannya saat ia melontarkan hal itu? Saya katakan kembali, tidak!! Saya tetap menghargainya! Ya, walau tidak benar secara seratus persen ketika ia mengungkap hal seperti itu. Tapi itu membuat saya tahu bahwa cara pandang kawan saya itu tentang lelaki sejati—hanya terletak dari—maaf—menghasilkan anak saja. Hmm...sungguh sebuah jawaban yang membuat geleng-geleng kepala bahkan mengelus dada. Ada-ada saja.

Dus, dengan susah payah akhirnya saya menemukan pula sosok lelaki sejati yang sesungguhnya. Lama memang. Tapi saya senang bisa berselancar ria bersama Mbah Google walau lama akhirnya membuahkan hasil. Saya menemukan sosok lelaki sejati itu pada diri seorang hamba yang dimuliakan oleh umatNya. Sosok lelaki sejati itu ada pada diri Rasulullah. Nabi Muhammad SAW, suri tauladan umat muslim.

Adalah guru terbaik manusia. Itu tidak bisa dipungkiri lagi. Selain kemampuan beliau menyelami satu persatu karakter manusia di sekelilingnya menjadi satu point yang penting. Bukan itu saja selain menyelami dan mengenali, beliau juga berhasil memaksimalkan potensi-potensi yang ada tersebut menjadi kekuatan dahsyat saat itu. Menerangi kegelapan dunia ketika itu dengan cahaya-cahaya tauhid. Alhasil, adalah tujuh abad lamanya manusia benar-benar menjadi manusia. Manusia yang mengenal dirinya, mengenal Tuhannya dan mengetahui fungsi keberadaannya di dunia.

Selain Rasulullah SAW, dari sekian banyak sahabat beliau ada beberapa orang yang mempunyai kesan mendalam terhadap diri saya. Tentu saja tidak lepas dari dua hal utama; kekuatan karakternya dan sumbangsihnya terhadap Islam.

Mereka itulah yang patut diselepangkan selendang lelaki sejati di pundaknya. Ya, walau tidak mungkin bisa mencapai kualitas seperti manusia agung yang menjadi pemimpinnya, setidaknya kisah hidup mereka adalah coretan emas tentang bagaimana seharusnya seorang laki-laki hidup, berkarnya dan menghabiskan umurnya.

Itu satu sosok Rasulullah SAW—lelaki sejati yang sangat saya agungkan. Tapi ada satu sosok lagi lelaki sejati yang saya lupakan untuk disebutkan—yang menurut saya patut diselepangkan pula selendang bertuliskan ”lelaki sejati”. Tak lain dia-lah Ayah saya. Walau sekarang ia sudah tak ada di bumi lagi tapi bagi saya rekaman tentang betapa bijaknya beiau kepada keluarga hingga begitu gigihnya masih tersimpan rapi di benak saya. Kepala dijadikan kaki. Kaki dijadikan kepala. Begitulah selama saya mengenalnya semasa hidupnya. Sosok lelaki sejati yang sempat terlupakan oleh saya. Siang malam ia mencari sesuap nasi hanya karena semata-mata untuk mengebul asap di dapur dan serta-merta pula membahagiakan istri dan anak-anaknya dengan memberikan pendidikan yang layak tanpa berkeluh kesah. Apalagi banyak bicara. Hmm..., membuat saya menitikan airmata jika saya mengenal sosok lelaki sejati satu ini.

Begitulah. Saya menganggumi sosok lelaki sejati sesuai kriteria dan menurut saya. Bahwa mereka pantas dijuluki sosok lelaki sejati sesuungguhnya. Bukan saya! Saya yang terlalu banyak berkeluh kesah saat mendapatkan musibah dan ujian. Pun begitu dengan kawan saya yang memandang hanya hawa nafsu dan keduniawian belaka. Serta kawan saya yang mengirimkan pesan singkat yang terlalu sempit mengartikan arti sosok lelaki sejati hanya dapat menerima dan melawan rasa kecewa karena sakit hati. Terlalu melankolis dan sentimentil memang bila mendengarnya! Karena sesungguhnya lelaki sejati itu bukan hanya pintar bicara, omdo dan ombes (omong besar) melainkan sedikit bicara tapi banyak bekerja. Talk less do more. Halnya slogan iklan kretek yang sudah ter-mindset dibenak kita. Setuju?[fy]

Ulujami—Pesanggrahan, 24 November 2009
Masih di kamar penuh inspirasi

Tulisan ini saya persembahkan untuk saudara saya sebagai hadiah persahabatan—yang sudah membuka hati saya tentang sosok lelaki sejati itu. Ehem, susah memang menjadi lelaki sejati itu terkadang perlu belajar banyak untuk mencapainya. Bukan begitu? Semoga.

source: Eramuslim.com
oleh: bujangkumbang@yahoo.co.id

0 komentar:

Posting Komentar