Kenikmatan Sesaat

oleh Halimah
Senin, 30/11/2009 13:52 WIB
Cetak | Kirim | RSS
Kenikmatan menunaikan ibadah haji tak akan terlukiskan dengan kata-kata. Sungguh banyak orang yang telah menunaikan rukun yang kelima tersebut, ternyata perlu banyak pendengar untuk membuncahkan semua kenikmatan yang telah di rasakannya. Bahkan setelah bertahun telah pulang, dan kembali ke rumah mereka di tanah air, mereka masih merasakan betapa ke-Agungan Allah yang menghampiri dan membuai mereka untuk selalu dekat kepada sang Khalik.

Maka berbahagialah bagi orang yang telah menunaikan haji. Karena masih banyak sekali orang yang mampu secara finansial, tapi masih merasa tak punya panggilan untuk menjalani. Betapa banyak pula yang merasa tak sanggup menjalankan prosesi itu, karena merasa diri mereka masih jauh dari ajaran agama ini. Kemudian ada beberapa orang yang menghindari naik haji, karena takut “pembalasan” di tanah suci,

Memang wajar lah jika banyak hal yang membuat kita berpikir, untuk menunaikan haji ke tanah suci. Karena banyak cerita yang sampaikan oleh orang-orang yang sepulang dari haji. Diantara cerita itu, ada yang kena pukul. Ternyata dia ingat, bahwa dia pernah memukul seseorang karena emosi. Ada pula yang kehilangan uang, dan mereka pun berpikir bahwa mungkin uangnya masih belum tersentuh zakat. Masih banyak hal yang ceritanya lebih membuat kita khawatir. Tapi semua itu jangan lah menjadikan kita untuk urung melaksanakan haji. Karena memang naik haji adalah sebuah kewajiban bagi kita, untuk menggenapkan rukun Islam yang kelima.

Jika diatas saya menceritakan tentang orang yang takut naik haji, maka selanjutnya saya menceritakan pula betapa banyaknya orang yang ngotot naik haji, bahkan untuk beberapa kali dalam hidupnya. Mungkin orang yang sangat ngotot ini, memang merasakan sebuah kenikmatan tiada taranya bila dia berada dalam lingkaran suasana berhaji di tanah suci.

Beberapa tahun yang lalu, ada seorang ibu yang kebetulan secara financial bukanlah orang yang mampu. Tapi ibu ini ternyata telah naik haji, dengan banyak usaha. Diantaranya jualan kue maupun penganan kecil lainnya, yang dijajakan pada tetangga maupun ke handai taulan. Dia berjualan sambil bersilaturahim. Memang usianya cukup lanjut, sekitara 60 tahunan. Tapi semangatnya untuk memenuhi panggilan Allah patut di acungi jempol.

Jika melihat semangat ibu itu, maka tentu saja saya malu hati. Ibu yang sudah janda ini dan hanya punya seorang anak, untuk kehidupan sehari-harinya pun sarat dengan kekhawatiran akan perut yang tak terisi. Tapi tekad dan impiannya untuk naik haji untuk kedua kalinya masih mengebu pula. Hingga pada suatu waktu dia bertandang ke rumahku ( karena telah pindah rumah yang letaknya agak jauh dari rumahku ), maka mulailah kami bercerita tentang kehidupan sehari-hari. Dia datang tentu saja dengan barang dagangannya, berupa kue camilan.

Cerita pun mengalir, dan akhirnya bermuara pada sebuah keluhan. Keluhan tentang dia memerlukan modal berjualan, karena minggu lalu dia telah menyetorkan uangnya ke bank untuk mendaftarkan diri naik haji. Tentu saja dia bercerita dengan sedikit halus, agar tidak kentara untuk meminjam duit. Saya pada saat itu pura-pura tidak begitu tahu arah pembicaraannya. Dan, akhirnya dia pun pulang tanpa mampu mengucapkan keinginannya lagi.

Jika dibilang saat itu saya pelit, tak lah mengapa. Tapi yang ada dalam pikiran saya saat itu adalah bagaimana sang ibu ini berusaha untuk naik haji lagi, padahal dalam kehidupan sehari-harinya terlihat biasa saja. Harapan saya tentu saja, orang yang telah naik haji dapat terlihat perbedaannya. Minimal dalam sikap kesehariannya. Sementara ibu ini, masih merokok, bicara pun masih kasar dan tak ada tanda-tanda bahwa dia dapat diharapkan jadi panutan lingkungannya. Mungkin dia merasakan kenikmatan saat melaksanakan prosesi haji, tapi sayangnya, setibanya di tanah air, kenikmatan itu tidak di peliharanya.

Kenapa saya katakan demikian? Karena seperti sebuah tanaman, maka nikmat iman harus selalu dijaga. Saat di tanah suci, imannya tepat berada di puncak. Tapi begitu di tanah air, iman akan melorot serendah-rendahnya karena tak ada siraman rohani yang rutin untuk menjadikannya tetap istiqomah ( minimal tidak turun drastis ) seperti yang terjadi saat melaksanakan haji. Hanya banyak cerita perjalanan hajinya yang disuguhkannya kepada kami. Sayang sekali, cerita-cerita itu tidak membuatnya lebih intens dalam memperbaiki dirinya sepulang dari ber-haji.

Ada pula cerita-cerita yang beredar, bahwa untuk beberapa kalangan, haji adalah sebuah symbol derajat. Derajat yang membuat penyandangnya tak ingin di remehkan. Untuk tipe seperti ini tentu saja membuat saya kadang geli di hati. Bayangkan saja, ada seseorang yang telah berstatus hajjah, tak ingin namanya maupun panggilannya tertinggal status “hajjahnya” tersebut. Bila kita memanggilnya sepertinya tak perlu memanggil namanya, tapi panggilah dia dengan haji maka terlihat senanglah wajahnya. Tapi bila tidak? Tunggu saja reaksinya yang tidak mengenakkan.

Memang sih bila segala sesuatu itu tergantung dari niatnya. Jadi jika naik haji untuk meraih status social yang lebih, maka dia hanya akan mendapatkan status itu, bukan yang lain. Sungguh disayangkan tentu saja. Begitu banyak uang yang dkeluarkan dan betapa perjalanan haji memerlukan tenaga yang super ekstra, tapi hasilnya hanya untuk sedemikian kecilnya. Mungkin ini berlaku karena seseorang ini tidak mengetahui benar, apa dan makna apa sebenarnya yang harus kita teladani selama berhaji.

Hingga ada seorang pengusaha Cina ( info dari seorang saudara ) di Samarinda berkata, “ dulu jika orang telah haji, bisa di percaya. Tapi saat ini saya tidak punya kepercayaan lagi. Banyak haji yang berutang, tapi sangat susah bayarnya.” Maknanya tentu saja bahwa status haji nya seseorang bukan lagi tolok ukur untuk jaminan kejujuran seseorang. Haji yang disandangnya, tidak membuatnya lebih baik lagi. Sebuah keadaan yang sangat disayangkan.

Memang patut disayangkan, bila setelah kita pulang dari naik haji, kita tidak menjadi lebih baik. Prosesi yang dijalankannya pun selama berhaji, adalah hanya untuk kenikmatan sesaat. Padahal pelaksanaan haji di perintahkan oleh Allah Swt. agar kita menjadi orang yang benar-benar dapat mengambil hikmahnya. Karena dalam prosesi haji itu banyak sekali hikmah yang dapat kita petik dan insya Allah dapat membuat kita menjadi orang yang lebih tawadhu dari sebelumnya. Keimanan yang lebih mantap, amal sholeh yang semakin banyak dan tentu saja jiwa sosial yang lebih baik dari sebelumnya, itulah sebuah refleksi dari haji yang mabrur.

( Ya Allah… berilah kemudahan kepadaku dan keluargaku untuk dapat memenuhi panggilan-Mu ke Baitullah. Amin.)



Sengata, 28 Nopember 2009

Halimah Taslima

Forum Lingkar pena ( FLP ) Cab. Sengata

halimahtaslima@gmail.com

0 komentar:

Posting Komentar